JAKARTA, KOMPAS — Nomor induk kependudukan dan nomor kartu keluarga dalam daftar pemilih tetap pemilu perlu tetap disensor sebagai upaya perlindungan data pribadi masyarakat. Informasi sensitif tersebut apabila terbuka secara luas dapat membuka peluang penyalahgunaan.
Polemik mengenai pembukaan nomor induk kependudukan (NIK) dan nomor kartu keluarga (NKK) pada daftar pemilih tetap (DPT) mengemuka seusai Ketua Partai Gerindra DKI Jakarta M Taufik mengajukan somasi pada 23 November 2018 kepada Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta untuk menyerahkan daftar pemilih dengan NIK dan NKK yang terbuka kepada Partai Gerindra.
Ketua KPU DKI Jakarta Betty Epsilon Idroos, Jumat (30/11/2018), membenarkan bahwa pihaknya mendapat somasi untuk membuka NIK dan NKK pada DPT DKI Jakarta dan memberikan salinannya kepada Partai Gerindra DKI Jakarta. Pembukaan NIK dan NKK ini disebut Partai Gerindra sebagai upaya untuk memastikan validasi dan akurasi data pemilih, termasuk menghindari kegandaan.
Kami harus melindungi data dan privasi masyarakat. Prinsip keterbukaan informasi publik, untuk membuka data tertutup dan terkecualikan, seperti NIK dan NKK, harus izin ’one by one’ dengan pribadi terkait.
Padahal, kata Betty, Komisi Informasi telah menyatakan bahwa data tersebut bersifat ketat dan terbatas. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, ketat dan terbatas adalah karakter informasi publik yang terkecualikan.
”Kami harus melindungi data dan privasi masyarakat. Prinsip keterbukaan informasi publik, untuk membuka data tertutup dan terkecualikan, seperti NIK dan NKK, harus izin one by one dengan pribadi terkait,” ujar Betty dihubungi dari Jakarta.
Ia menambahkan, tidak ada putusan Komisi Informasi DKI Jakarta yang menyatakan untuk memberikan salinan DPT kepada pihak pemohon. Betty pun telah berkomunikasi dan koordinasi dengan Ketua Komisi Informasi DKI Jakarta.
Putusan Komisi Informasi DKI Jakarta menyatakan, informasi yang dimaksud, DPT DKI Jakarta, merupakan informasi terbuka yang bersifat ketat dan terbatas. Komisi Informasi juga meminta KPU DKI Jakarta bertemu dengan partai politik, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta, dan Badan Pengawas Pemilu DKI Jakarta dalam forum terbatas untuk membuka NIK dan NKK pada DPT tersebut.
Betty menyebutkan, pertemuan tersebut telah diselenggarakan pada 6 November 2018. Dalam kesempatan itu, data tidak boleh difoto ataupun dikuasai oleh partai politik.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, pembukaan sensor NIK sebagai upaya validasi DPT seharusnya dapat dihindari. Ia menilai, partai politik peserta pemilu seharusnya sudah melakukan proses validasi pemilih secara berjenjang mulai dari tingkat kelurahan.
”Dari tingkat kelurahan itu, partai politik sudah mendapat salinan daftar pemilih. Kalau ingin memastikan daftar pemilih, validasi, dan akurasinya, seharusnya sudah dari tingkat bawah hal-hal tersebut dilakukan,” ucap Titi.
Apabila data NIK dan NKK beserta data pribadi sensitif lainnya terbuka bagi publik secara luas, peluang penyalahgunaannya dinilai Titi terlampau besar. ”Tidak ada jaminan peraturan perundang-undangan yang yang menjamin bahwa data yang terbuka itu tidak disalahgunakan,” lanjutnya.
Titi mengatakan, NIK dan NKK rawan disalahgunakan sebab dapat digunakan untuk mengakses berbagai layanan dan jasa, seperti telekomunikasi atau pinjaman ke bank.
Deputi Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar mengatakan, perlindungan data pribadi pemilih seperti yang dilakukan KPU tersebut sudah lazim dilakukan di negara-negara lain.
Wahyudi menuturkan, di Inggris, pemerintah dan penyelenggara pemilu hanya merekam empat data pemilih, yakni nomor pemilih, nama, alamat, dan permintaan pengiriman suara via pos. Data yang dipublikasikan secara luas pun telah dimodifikasi untuk melindungi privasi pemilih.
Sementara itu, Australia, kata Wahyudi, hanya membuka nama dan alamat pada data pemilihnya. Bahkan, untuk mengakses data tersebut, perwakilan partai politik harus melakukannya dari dalam kantor KPU Australia (Australian Electoral Commission).