Selalu ada tarik ulur atas kemajuan dunia. Di satu pihak, kemajuan itu dirayakan dengan sedemikian rupa. Gawai hampir tak pernah lepas dari tangan. Hampir tiap sebentar, kita melihat perkembangan terbaru di media sosial. Kita bertegur sapa dengan akun-akun yang menjadi bagian pertemanan di dunia maya. Selain di keseharian yang konkret, kita juga mengada di jagat maya: di dunia virtual.
”Pertanyaannya, apakah semua orang fit in (cocok) dengan cara hidup yang semacam itu?” kata koreografer Yola Yulfianti menjelang malam penutupan Festival Film Jakarta 2018, Kamis (29/11/2018).
Pada malam penutupan ini, Yola yang berkolaborasi dengan aktor Tony Broer akan mementaskan ”Cuy, gimana nolong elu buat pindah dari zaman BB ke zaman Z?”. BB yang dimaksud adalah baby boomers atau generasi yang lahir dalam rentang 1946-1964. Tony adalah perwakilan dari generasi itu.
Menurut Yola, Tony termasuk pelaku aktor yang membatasi diri terhadap perkembangan dunia digital. Untuk keperluan penampilan ini, mereka berkomunikasi lewat layanan pesan singkat atau SMS. ”Dia tidak punya gawai, masih pakai HP Nokia lama,” kata Yola.
”Cuy, gimana nolong elu buat pindah dari zaman BB ke zaman Z?” menceritakan tentang Cuy atau Tony yang berusaha akrab dengan masa kini yang serba digital. Pertunjukan itu bahkan sudah terjadi di luar panggung, sebelum acara dimulai.
Tony mengenakan rambut palsu panjang warna kuning dan jaket hijau. Celana legging merah muda membentuk lekuk kakinya. Dia wara-wiri di lokasi acara, membawa gawai seukuran buku tulis isi 40. Dia menghampiri kerumunan sembari berkata, ”Cuy, cuy, cuy, foto sama gue, cuy,” katanya.
Di pentas, tingkahnya berhasil memicu gelak tawa penonton. Dia berbicara kepada ”tokoh digital” bernama ”Wa” yang bisa memberikan apa saja. ”Coba kasih lihat Instragram gue, Wa,” kata Tony dengan sengaja mempelesetkan kata Instagram.
Sebuah layar besar di belakang panggung memunculkan Instagram Tony. Tak lama, dia ingin memamerkan pula video Youtube-nya. Muncullah video Tony yang mengenakan pakaian serupa wara-wiri di Bundaran Hotel Indonesia.
Tony yang kesengsem dunia digital ingin terus larut di dalamnya. Tak pelak, ia ingin bertemu dengan Wa, tokoh digital itu. Layar memunculkan peta daring. Tony berlari menuju Wa. Gerakannya luwes hingga sampai ke bangku penonton dan memanjat tiang, tetapi rumah Wa tetap tak ditemukan.
Dia membuka baju dan legging, menyisakan celana kolor dan rambut palsu. Diiringi musik dengan tempo cepat, Tony menggeliat di panggung. sesekali tangannya memukul-mukul tubuhnya, hingga akhirnya ia rebah, dan lampu padam.
”Tony menggambarkan dirinya sebagai representasi generasi yang terkontaminasi oleh budaya kekinian, tetapi dia tidak menyerah. Dia berjalan dan menyembuhkan dirinya untuk ikut dalam irama kekinian itu. Meski, kadang kita melihatnya menjadi sesuatu yang ganjil, tidak biasa, dan tidak diterima oleh zaman,” kata Benny Yohanes Timmerman, dosen STSI Bandung yang sekaligus menjadi juri pada Festival Teater Jakarta 2018.
Benny menjelaskan, Tony merupakan investasi memori kepurbaan manusia yang terlupakan karena rutinitas sehari-hari. ”Ini menjadi semacam refleksi dari pengalaman kita yang biasanya hanya menjadi ingatan pendek dan lepas begitu saja,” kata Benny.
Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta Afrizal Malna menambahkan, pertunjukan ini merupakan kolaborasi dari dua generasi yang berbeda. Tony berasal dari zaman mesin tik yang hingga kini bahkan tidak menggunakan e-mail. Sementara Yola mewakili generasi sekarang yang familiar dengan teknologi.
”Yola seperti menuntun Tony untuk masuk ke era digital. Paling tidak, ini akan mencairkan generasi yang datang dari era berbeda itu,” kata Afrizal.
Di sisi lain, ini juga gambaran hidup generasi z atau generasi yang akrab dengan dunia digital. Menurut Afrizal, kelahiran generasi z ini harus dipikirkan oleh negara, baik pendidikan maupun orientasi budayanya. (INSAN ALFAJRI)