Belasan anak muda menyambangi stan Komisi Pemilihan Umum yang berada di lantai dua Grha Sabha Pramana Universitas Gadjah Mada, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (29/11/2018) siang. Sebagian sibuk di depan komputer yang ada di stan itu, sementara yang lain berbincang dengan tenaga staf KPU.
”Saya ingin mengecek apakah sudah terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu 2019. Alhamdulillah ternyata saya sudah terdaftar,” kata mahasiswa Universitas Aisyiyah Yogyakarta, Hajir Muhammad Nur (19).
Hajir mengaku sengaja mendatangi stan KPU di Grha Sabha Pramana UGM untuk memastikan dirinya tak kehilangan hak pilih dalam Pemilu 2019. Selain itu, pemuda asal Kota Palu, Sulawesi Tengah, tersebut juga ingin bertanya apakah dirinya bisa mencoblos di Yogyakarta, tempatnya kuliah saat ini. ”Tadi dijawab bisa, tetapi harus mengurus formulir A5,” ujarnya.
Formulir A5 merupakan formulir untuk pindah memilih di luar daerah asal. Untuk mengurus formulir itu, pemilih harus mendatangi KPU kabupaten/kota di tempat asal atau KPU kabupaten/kota di tempat tujuan memilih dengan membawa kartu tanda penduduk (KTP) elektronik. Namun, mereka yang pindah memilih ke provinsi lain hanya bisa memilih pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
Meski hanya bisa ikut memilih pada Pemilu Presiden 2019, Hajir bertekad mengurus formulir A5 agar tak kehilangan hak pilih. ”Karena satu suara itu, kan, bisa menentukan masa depan bangsa. Makanya sayang kalau ada yang golput atau enggak memilih,” ujarnya.
Rumah Pemilu
Stan KPU di Grha Sabha Pramana UGM yang didatangi Hajir dan kaum milenial lain itu dibuka dalam rangka Festival Rumah Pemilu 2019 yang digelar atas kerja sama sejumlah media massa kelompok usaha Kompas Gramedia, yakni Kompas TV, harian Kompas, Kompas.com, dan Kontan.
Dalam Talkshow #MudaMemilih, Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, dari 191 juta pemilih yang sudah terdaftar dalam Pemilu 2019, jumlah pemilih dari kalangan muda cukup signifikan. Oleh karena itu, kaum muda akan sangat menentukan hasil Pemilu 2019 sehingga tak heran kedua kubu capres dan partai politik berlomba berebut suara generasi muda.
Arief berharap generasi milenial bisa ikut memilih dalam Pemilu 2019 karena proses politik itu bukan hanya menentukan kualitas pemimpin Indonesia ke depan, melainkan juga turut menentukan kualitas kebijakan pemerintah di masa mendatang. ”Kalau orang tidak baik yang kemudian terpilih, kebijakan yang dikeluarkan pun menjadi tidak baik,” ujarnya.
Direktur Komunikasi Indonesia Indicator Rustika Herlambang mengatakan, generasi milenial sangat antusias membicarakan Pemilu Presiden 2019 di media sosial. Namun, pembicaraan ihwal pemilu presiden di media sosial banyak diwarnai ujaran kebencian dan penyebaran kabar bohong. ”Isu tentang hoaks (kabar bohong) dan hate speech (ujaran kebencian) adalah isu besar anak muda milenial,” ujar Rustika.
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Febri Diansyah mengatakan, jika generasi milenial bersikap abai dan tidak ikut memilih dalam Pemilu 2019, itu sama artinya memberikan kekuasaan kepada orang-orang yang telah berkuasa sejak lama dan mungkin terafiliasi dengan struktur politik dan keuangan yang korup. ”Tetapi, Anda (generasi milenial) bisa mengubah nasib Anda sendiri dengan terlibat aktif memilih,” katanya.
Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo menyampaikan, karena jumlahnya cukup signifikan, pemilih milenial akan sangat menentukan kualitas pemimpin yang terpilih dalam Pemilu 2019. ”Kalau memang teman-teman pemilih menginginkan Indonesia yang lebih bersih dari korupsi, tentu pilihlah kandidat-kandidat dan partai-partai yang memang punya komitmen untuk memberantas korupsi di negeri ini,” ujarnya.
Menurut Direktur Center for Digital Society UGM Dedy Permadi, generasi milenial tidak hanya harus ikut memilih dalam Pemilu 2019, tetapi juga harus mendorong terwujudnya pemilu yang berkualitas. Oleh karena itu, anak muda didorong untuk mengeluarkan lebih banyak gagasan yang berkualitas terkait pemilu di media sosial.