Pelatnas Panjat Tebing 2019 Kemungkinan Besar Diisi Atlet-atlet Baru
Oleh
Rakaryan Sukarjaputra
·3 menit baca
SOLO, KOMPAS — Hasil sementara di ajang Kejurnas Panjat Tebing XVII 2018 di GOR Manahan, Solo, Jawa Tengah, hingga Jumat (30/11/2018) mengindikasikan kemungkinan besar pelatnas panjat tebing 2019 yang diproyeksikan untuk Olimpiade 2020 akan diisi muka-muka baru. Hal itu terlihat dari unggulnya sejumlah atlet nonpelatnas 2018 atas atlet-atlet pelatnas 2018, terutama di nomor lead dan boulder.
Dari nomor combined (kombinasi) putri yang masih berlangsung saat berita ini dibuat, Nurul Iqamah yang memperkuat Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk sementara menempati posisi teratas setelah menempati posisi teratas di boulder combined dan nomor dua di nomor speed.
Posisi kedua ditempati Aries Susanti Rahayu yang menempati posisi teratas di speed combined dan nomor 9 di boulder combined. Sementara posisi ketiga ditempati atlet Jawa Barat, Widia Fujiyanti, yang menempati posisi ke-5 di speed combined dan posisi ke-2 di boulder combined.
Di nomor lead combined yang menjadi nomor penentuan, Aries gagal mencapai puncak dan terhenti sekitar 4 meter dari puncak, sedangkan Nurul dan Widia saat berita ini dibuat belum diketahui hasilnya. Meski demikian, seperti disampaikan Wakil Ketua II PP FPTI Pristiawan Buntoro, posisi Aries bersama Aspar Jaelolo di pelatnas panjat tebing relatif aman karena kemampuan istimewanya di nomor speed.
Perubahan lebih besar kemungkinan terjadi di kelompok putra. Dari hasil hingga kemarin malam, enam atlet yang lolos ke final dari peringkat pertama sampai keenam adalah Fatchur Roji (Jawa Timur), Jamal al Hadad (Kalimantan Timur), Rifaldi Ode Ridjaya (Bali), Alfian M Fajri (Jawa Tengah), Aspar Jaelolo (DKI Jakarta), dan Ade Adriantos (Aceh).
Pristiawan menyampaikan, untuk pelatnas 2019, PP FPTI memang akan lebih banyak memilih atlet yang memiliki kemampuan baik di nomor kombinasi karena nomor itulah yang dipertandingkan di Olimpiade 2020 Tokyo.
”Kita tidak mungkin menyiapkan atlet terlalu lama karena seleksi untuk Olimpiadenya tahun depan. Oleh karenanya, lebih baik memilih mereka yang memiliki potensi kuat di kombinasi sehingga para pelatih nanti tinggal memoles dan meningkatkan kemampuannya,” tutur Waketum II PP FPTI itu belum lama ini.
Banyak atlet pelatnas 2018, antara lain Sabri (Kaltara), Pangeran Septo Wibowo Siburian (Kaltim), dan Seto (DI Yogyakarta), mengeluhkan minimnya waktu berlatih lead dan boulder sebagai sumber utama kegagalan mereka.
”Saya tidak sempat latihan sama sekali untuk lead dan boulder, makanya otot-ototnya kurang mendukung dan daya tahannya juga kurang. Selain itu, saya di Kaltara juga kalau berlatih menggunakan volum (poin) model zaman dulu, yang tidak besar-besar seperti ini, makanya rada kaget juga karena kita harus meraba-raba di mana titik pegangannya,” ungkap Sabri.
Seto yang dasarnya adalah seorang pemanjat boulder pun mengakui minimnya jam berlatih lead dan boulder di pelatnas 2018 membuat dia agak kehilangan kemampuan bermain boulder. ”Memang beda sekali, di boulder dan lead itu kita harus pintar-pintar membaca jalur, mengenai titik pegangan volumnya, dan juga dibutuhkan endurance yang lebih besar. Di situ saya merasa kurangnya,” papar atlet yang usianya masih terbilang atlet yunior itu.
Atlet-atlet nonpelatnas 2018 pun mengakui jalur di nomor lead dan boulder yang dibuat di Kejurnas 2018 itu mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi. Di antara para atlet pun banyak diperbincangkan kesulitan mereka menemukan pegangan dan keharusan menguasai teknik panjat dinamis atau pemanjatan yang membutuhkan lompatan.