Pengawasan Eksternal Diperkuat
Dalam RUU Jabatan Hakim yang ditargetkan selesai dibahas tahun depan, Komisi Yudisial akan diberi kewenangan menjatuhkan sanksi kepada hakim pelanggar kode etik.
JAKARTA, KOMPAS - DPR akan menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim pada awal 2019. Rancangan undang-undang ini akan memperkuat kewenangan Komisi Yudisial dalam mengawasi perilaku hakim. Aturan ini diharapkan bisa mencegah hakim terjerat kasus korupsi.
Dalam catatan Kompas, sebanyak 14 hakim terjerat kasus korupsi dalam tiga tahun terakhir. Yang paling akhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap dua hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Iswahyudi Widodo dan Irwan, pada Selasa (27/11/2018).
”Saya sudah berbicara dengan ketua dan anggota Komisi III DPR, RUU Jabatan Hakim akan diselesaikan pada masa sidang depan. Sebab, masa sidang sekarang pendek waktunya. Pada masa sidang depan saya yakin kami bisa selesaikan,” kata Ketua DPR Bambang Soesatyo di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (29/11).
Yang dimaksud masa sidang depan tak lain persidangan III Tahun Sidang 2018-2019 yang dimulai Januari 2019. Adapun masa sidang saat ini akan berakhir 13 Desember 2018.
Sebelum RUU Jabatan Hakim bisa dituntaskan, DPR mendorong Komisi Yudisial (KY) lebih berperan untuk mengawasi perilaku hakim, termasuk mencegah hakim korupsi. Mahkamah Agung (MA) pun diharapkan tak lagi resisten terhadap pengawasan dari KY.
”Setiap pimpinan lembaga hendaknya berjiwa negarawan sehingga masing-masing memahami tugas dan posisinya,” ujarnya.
Menjatuhkan sanksi
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, mengatakan, salah satu bentuk penguatan kewenangan KY yang akan dimasukkan ke dalam RUU adalah kewenangan untuk menjatuhkan sanksi kepada hakim yang terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim.
Ini akan mengubah praktik yang selama ini berlangsung, yang mengacu pada UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang KY. Dalam ketentuan ini, KY hanya bisa memberikan rekomendasi sanksi terhadap hakim yang melanggar kode etik kepada MA. Sanksi dijatuhkan oleh MA.
”Yang selama ini terjadi, banyak rekomendasi KY yang tidak dilaksanakan MA. Ini makanya nanti akan dimasukkan norma yang memberikan kewenangan kepada KY untuk menjatuhkan sanksi,” katanya.
Alasan MA tidak mengikuti rekomendasi KY, menurut Arsul, karena MA menilai pelanggaran yang dilakukan hakim termasuk dalam urusan teknis yudisial. Urusan ini menjadi kewenangan MA untuk mengawasinya. Agar MA tak lagi berkilah dengan alasan itu, dalam RUU Jabatan Hakim juga akan dipilah hal-hal yang termasuk teknis yudisial, dan mana yang termasuk perilaku.
Sementara itu, Juru Bicara MA Suhadi mengungkapkan, selama ini MA telah berupaya mengatasi korupsi di tubuh peradilan. Dalam hal pembinaan dan pengawasan hakim, MA telah membuat sejumlah ketentuan, seperti Peraturan MA Nomor 7, 8, dan 9 Tahun 2017, yang melarang hakim bertemu pihak beperkara, meminta izin ketika keluar kantor, dan pengawasan melekat oleh atasan langsung.
Di luar ketentuan itu, banyak ketentuan lain yang ”memagari” hakim termasuk Pasal 6 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara khusus mengenai suap kepada hakim dengan ancaman pidana 15 tahun penjara. Secara profesional, hakim juga terikat oleh kode etik yang pengawasannya dilakukan oleh KY.
”Banyak sekali aturan yang memagari hakim. Tidak ada profesi atau pekerjaan lain yang diatur khusus di dalam UU selain hakim. Bupati, gubernur, menteri, atau presiden saja tidak diatur khusus ancaman hukumannya di dalam UU Pemberantasan Korupsi. Upaya pencegahan juga sudah dilakukan baik oleh MA juga KY,” kata Suhadi.
Menanggapi masih banyaknya hakim yang menerima suap, kata Suhadi, dirinya menilai hal itu tergantung pribadi setiap hakim.
Namun, mantan Ketua Kamar Pidana MA Djoko Sarwoko mengingatkan, para hakim membutuhkan sosok yang bisa menjadi panutan di MA. Ia mencontohkan tentang adanya pemimpin pengadilan yang direkomendasikan untuk dijatuhi sanksi oleh KY atas dugaan pelanggaran etik, tetapi MA tidak mengikutinya. KY bahkan telah meminta diadakan pemeriksaan bersama antara MA dan KY dalam kasus itu, tetapi hingga kini pemimpin salah satu pengadilan itu dipertahankan.
Djoko pun menilai bahwa MA selama ini terkesan lamban dalam merespons persoalan. Salah satunya, pemimpin MA membiarkan posisi Ketua Muda Pengawasan kosong selama beberapa waktu. Ia yakin hal tersebut berdampak pada efektivitas pengawasan hakim.
”Yang ada Kepala Badan Pengawasan yang kewenangannya terbatas,” ujarnya.
Secara terpisah, Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dio Ashar Wicaksana menyampaikan, perlu perubahan kultur secara masif. Tidak hanya pada aparatur peradilan, tetapi juga advokat dan pihak beperkara.
”Banyak advokat pernah membayar petugas pengadilan. Mereka merasa ini bukan suatu hambatan dalam berproses perkara, justru suatu kebiasaan. Ini permasalahan kultur yang sistemik sehingga harus segera ditangani saksama,” ujar Dio.
Diberhentikan sementara
Terkait kasus terakhir, MA telah memberhentikan Iswahyudi, Irwan, dan Muhammad Ramadhan, panitera pengganti pada PN Jakarta Timur yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Suhadi mengatakan, Badan Pengawasan MA dalam waktu dekat juga akan melakukan investigasi, pemeriksaan, dan klarifikasi terhadap atasan ketiga aparat peradilan tersebut.
Sementara itu, Achmad Guntur dari Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengatakan, pemeriksaan perkara perdata perjanjian akuisisi PT Citra Lampia Mandiri oleh PT Asia Pacific Mining Resources, yang semula ditangani Iswahyudi dan Irwan, diputuskan untuk ditunda.
Perkara dengan nomor 262/Pid.G/2018/PN Jaksel semestinya diputus pada Kamis (29/11) kemarin. PN Jaksel memutuskan untuk menunjuk majelis hakim baru untuk menangani perkara itu.
”Untuk perkara yang ditangani Iswayudi dan Irwan, segera dibentuk majelis baru. Untuk sementara, sambil menunggu majelis baru itu, sidang akan ditunda. Untuk prosesnya pun tergantung majelis hakim yang baru, karena perlu dipelajari fakta-fakta yang ada,” ujar Guntur.
Seperti diketahui, Iswahyudi dan Irwan diduga menerima Rp 150 juta dan 47.000 dollar Singapura secara bertahap, dari pihak advokat yang memperoleh dana dari swasta. Uang itu digunakan untuk memengaruhi putusan sela yang dibacakan pada Agustus 2018 agar tidak lahir putusan gugatan tidak bisa diterima. Ada pula komitmen lanjutan sebesar Rp 500 juta yang akan segera diserahkan, untuk putusan akhir Kamis kemarin.