Soal Perlindungan Pekerja Migran, Pemda Dituntut Lebih Aktif
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah pusat dan daerah perlu berkolaborasi mengembangkan peta jalan sistem perlindungan pekerja migran. Salah satu wujud implementasi yang diharapkan adalah adanya tim pengawasan hulu hingga hilir penempatan.
Ketua Pusat Studi Migrant Care Anis Hidayah di Jakarta, Kamis (29/11/2018), memandang Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia sebagai era baru perlindungan pekerja migran Indonesia. Alasannya, substansi mengandung arahan penting, yakni pemerintah daerah terlibat dan desentralisasi perlindungan. Di samping itu, UU menyiratkan kesetaraan jender dan memutus mata rantai keagenan.
UU No 18/2017 diundangkan pada 22 November 2017. Sampai sekarang, kata Anis, kolaborasi pemerintah pusat dan daerah belum tampak. Sebagai contoh, puluhan kantor layanan terpadu satu atap (LTSA) berdiri di tingkat provinsi sampai kabupaten/kota. Kemudian, 36 desa peduli buruh migran (desbumi) dan 200 desa buruh migran produktif (desmigratif) telah beroperasi. Namun, di antara ketiganya belum sinergi.
”Perlindungan hulu-hilir membutuhkan koordinasi. Selain kepastian anggaran perlindungan, hal terpenting adalah mematuhi amanat UU No 18/2017 terkait perlunya pengawasan bertingkat di daerah yang hasilnya dilaporkan ke Menteri Ketenagakerjaan. Mekanismenya semestinya segera dibicarakan,” ujar Anis.
Di luar sektor domestik yang jamak diperbincangkan, katanya, kategori pekerja migran kian beragam. Dalam UU No 18/2017 baru mengakomodasi sektor domestik, kelautan, dan perkebunan.
Penyederhanaan aturan
Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Ketenagakerjaan Soes Hindharno mengatakan, sampai sekarang, pihaknya bersama kementerian dan lembaga lain masih berkutat menyusun peraturan turunan amanat UU No 18/2017. UU ini mengamanatkan 28 peraturan turunan yang harus selesai pada November 2019.
Selama berdiskusi dengan kementerian dan lembaga lain, dia menyebut adanya usulan penyederhanaan peraturan turunan. Jumlah peraturan rencananya dikurangi dari 28 menjadi 13 buah.
Dia memerinci 13 peraturan turunan tersebut terdiri dari tiga peraturan pemerintah, lima peraturan menteri, dua peraturan presiden, dan tiga peraturan kepala badan baru pengganti Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.
Soes mengemukakan, pemerintah fokus terhadap perkembangan LTSA, sebagai kantor pelayanan legalisasi dokumen dan kebutuhan pemberangkatan pekerja. Di tingkat pemerintah kabupaten terdapat LTSA yang terintegrasi dengan mal pelayanan publik, semisal Banyuwangi. Namun, LTSA ini belum diresmikan.
Remitansi naik
Menurut laporan Bank Dunia, jumlah pengiriman uang pekerja migran ke negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah di seluruh dunia mencapai 466 miliar dollar AS pada 2017. Nilai ini meningkat 8,5 persen dibandingkan tahun 2016.
Sementara pekerja migran dari negara kawasan Asia Pasifik mengirim uang untuk kebutuhan rumah di negara asalnya sekitar 256 miliar dollar AS pada 2017. Remitansi menyumbang rata-rata 60 persen untuk pendapatan rumah tangga penerima. Di Asia Pasifik, Filipina, dan Vietnam menjadi tujuan utama pengiriman uang.
Di luar besarnya remitansi, kerja layak bagi pekerja migran masih menjadi persoalan. Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan United Nations Women dalam laporan studi ”Protected or put in harm’s way? Bans and restrictions on women’s labour migration in ASEAN countries (2017)” menyebutkan, perempuan pekerja migran sering kali menjadi korban penyalahgunaan kekuasaan oleh agen perekrutan. Mereka biasanya kesulitan mengakses bantuan saat masalah terjadi. Pada saat bersamaan, pengawasan pemerintah pun kurang.
Studi itu juga menemukan, kebijakan pelarangan penempatan pekerja migran justru mengakibatkan tenaga kerja perempuan tetap bermigrasi walaupun akses bantuan terbatas. Mereka melakukannya karena menilai keuntungan yang diperoleh lebih besar dibandingkan risiko masalah.