AH Burger, Pertama bagi Kawula Muda Ibu Kota
Mimpi sebagian orang untuk mencecap makanan cepat saji ala Amerika tiba-tiba jadi kenyataan di Jakarta. Saat itu tahun 1977.
Jakarta ketika itu bagaikan gula. Orang-orang dari sejumlah daerah datang mencari penghidupan ke Ibu Kota. Pada tahun itu pula, pemilu legislatif digelar.
Edi Sedyawati dkk (1986) yang menulis buku berjudul Sejarah Kota Jakarta 1950-1980 menyebutkan tentang kenaikan cukup tinggi jumlah pendatang dari luar Jakarta antara tahun 1976 dan 1978. Seperti dikutip dalam buku tersebut dari Jakarta Dalam Angka 1981, jumlah pendatang pada 1976 tercatat 22.867 orang. Jumlah itu naik menjadi 23.332 orang pada 1977 dan naik kembali pada 1978 menjadi 42.182 orang. Akan tetapi, pada 1979 dan 1980 jumlahnya masing-masing turun menjadi 33.606 orang dan 30.645 orang.
Pada tahun 1977 itu pula, Teguh Utomo memutuskan untuk mendirikan restoran cepat saji American Hamburger (AH). Sebelumnya, Teguh kuliah di Amerika Serikat sembari melakoni pekerjaan di restoran cepat saji.
Pada tahun itu, di Amerika Serikat tengah terjadi sukacita menyusul dikenalkannya pesawat ulang-alik pertama bernama Enterprise oleh NASA. Selain itu, pada tahun yang sama, duka juga menyelimuti setelah bintang rock ’n roll Elvis Presley meninggal.
Bamby Cahyadi, Manajer Operasi PT American Hamburger, Rabu (21/11/2018), mengatakan, setelah kembali ke Tanah Air, Teguh ingin membawa salah satu brand restoran cepat saji yang terkenal dengan produk burger ke Indonesia. ”Tetapi, pada waktu itu sistem franchise belum seperti sekarang dan tidak semudah sekarang untuk membawa brand asing ke Indonesia (sehingga tidak jadi),” ujar Bamby.
Karena itulah, Teguh lantas mendirikan American Hamburger. Lokasinya di kawasan Melawai, Blok M, Jakarta Selatan. Sebagai merek lokal, AH juga menggunakan bahan-bahan pangan lokal. Untuk pertama kalinya, restoran cepat saji gaya Amerika dengan menu hamburger hadir di Jakarta atau bahkan di Indonesia pada tahun 1977.
Bamby menambahkan, dapur terpusat dibangun untuk keperluan tersebut. Saus, bun (roti), dan patty (daging isian) diracik sendiri. ”Tidak ada komponen impor,” ucapnya.
”Magma” bagi kawula muda
Sekitar tiga tahun setelah dibuka, AH menyajikan pula sejumlah menu lain. Pasta, steak, dan sebagainya, bahkan juga sejumlah menu Indonesia untuk mengakomodasi selera lokal. Di dalamnya tersebutlah nasi goreng, ayam goreng, dan soto ayam. Hal lain yang juga menjadi kekhasan adalah sejumlah jenis kue. Black forest, tiramisu, cheesecake, dan rainbow cake adalah beberapa di antaranya.
Tahun 1980-an hingga 1990-an, AH meledak. Ia menjadi semacam ”magma” pergaulan kawula muda Jakarta. Bersama-sama ”Lintas Melawai” sebagai kawasan rendezvous sebagian kaum muda Jakarta, AH menahbiskan diri sebagai tempat makan sebagian di antara mereka. Bahkan, kala itu, sejumlah produksi film dengan latar belakang pergaulan pemuda, lanjut Bamby, menggunakan restoran AH sebagai lokasi shooting.
Jika merujuk pada sejarahnya, seperti ditulis Josh Ozersky dalam buku berjudul Burger: A History (2008), hamburger adalah kisah tentang imigrasi dari Eropa pada abad ke-19 dan urbanisasi pada abad ke-20. Hal ini seiring dengan evolusi ”Hamburg steak” menjadi hamburger, di mana pertumbuhan kaum urban pada kelas pekerja pabrik ada di dalamnya. Inovasi tahun 1921 oleh produsen burger White Castle dan McDonald’s Corporation, disebut Ozersky, membuat burger bagaikan Model T (mobil pertama bikinan Ford yang mampu dibeli secara luas oleh masyarakat kelas menengah berkat efisiensi lini produksi dalam pabrik) dalam khazanah makanan cepat saji.
Tentu saja, sejarah persebaran dan perkembangan hamburger di Jakarta relatif berbeda dengan di Amerika. Sebab, kisah awal mula kehadiran burger di Jakarta adalah tentang gaya hidup sebagian kawula muda.
Sejarah persebaran dan perkembangan hamburger di Jakarta relatif berbeda dengan di Amerika. Kisah awal mula kehadiran burger di Jakarta adalah tentang gaya hidup sebagian kawula muda.
Salah seorang di antaranya adalah Daililah Rahayu (50) yang pada Rabu siang itu datang ke gerai AH Restocafe di dalam kompleks Blok M Square, Jakarta Selatan. Lila, panggilan akrabnya, yang kini bekerja di salah satu bank BUMN, pada tahun 1984-1987 bersekolah di salah satu SMA di bilangan Bulungan, Jakarta Selatan.
Ia mengingat dengan semringah memori-memori indah yang melintas lebih dari 30 tahun silam. Menurut Lila, AH populer di kalangan ABG.
”Saya dulu masih kelas I SMA, ABG-lah, ya,” selorohnya mengingat masa-masa tatkala dirinya kerap menghabiskan waktu di AH.
Hal itu biasanya dilakukan saat transit setelah naik bus kota. Melawai Plaza termasuk yang sering disusurinya kala itu.
Siang itu, Lila sedang kangen dengan menu burger steak. Ia datang sendirian setelah janji pertemuan yang batal. Pertemuan boleh tidak jadi, tetapi Lila terus dengan rencananya menuju AH.
Lagu-lagu semacam ”Jump” yang dirilis Van Halen pada 1983 dan ”Don\'t Stand So Close to Me” dari The Police (1980) terdengar dari pengeras suara. Lagu-lagu itu muncul dalam versi berbeda, bersama datang dan perginya segelintir pengunjung.
Cerita tentang perburuannya untuk menemukan lokasi-lokasi restoran AH lainnya kemudian meluncur dari tuturan Lila. Kepada pekerja yang siang itu bertugas, Devi dan Ramdan, Lila bertanya tentang keadaan sejumlah gerai, apakah masih beroperasi ataukah sudah tutup.
Devi, pegawai yang menyebutkan baru lima bulan bekerja di restoran itu, menjawab tangkas. Ia hafal semua lokasi dan status setiap restoran AH yang beroperasi.
Sebelumnya ada Raymond (65) yang siang itu datang untuk sejumlah menu yang lantas dibungkus pulang. Pada era kejayaan AH, Raymond tidak tinggal di Jakarta. Namun, ia mengingat, AH memang menjadi semacam pusat berkumpulnya sebagian kaum muda Jakarta.
Pasar nostalgia
Bamby menjelaskan, pasar AH saat ini memang cenderung pada warga senior. Mereka datang untuk bernostalgia saat di masa muda kerap mengunjungi AH.
Suasana restoran yang relatif tidak berubah, termasuk posisi tangga, memang seperti melempar sebagian orang seperti Lila kembali ke masa-masa muda mereka. Hanya ada sedikit perubahan dekorasi. Perubahan agak besar hanya terjadi pada logo.
Akan tetapi, perubahan mendasar sesungguhnya terjadi pada 2011. Ketika itu, kepemilikan PT AH beralih dari Teguh Utomo kepada pasangan Andy Soewatdy dan Santy Soewatdy.
Ledakan bisnis hingga 1990-an dengan 25 gerai di Jabodetabek perlahan meredup karena badai krisis tahun 1997-1998. Menurut Bamby, pada masa itu, restoran tersebut menjadi sasaran kerusuhan karena disangka dimiliki Amerika walaupun kenyataannya tidak. Setelah krisis usai, kompetitor restoran cepat saji yang tumbuh makin menambah tekanan bagi AH.
Kini, dengan konsep resto-café dari semula family restaurant, terdapat 10 gerai di Jabodebek dan dua gerai di Bandung. Guna merengkuh pasar kawula muda, lima gerai di antaranya mengusung tema kafe dan menjual kopi. Ah, AH.