Memasuki usia ke-10 tahun ini, kelompok 20 negara atau G-20 dihadapkan pada krisis identitas. Dibangun atas dasar semangat multilateral, G-20 kini dibayangi ketidakpastian berhasil tidaknya mereka mencapai komunike bersama di Buenos Aires, Argentina.
Forum G-20 digagas pada 1999 melalui perkumpulan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral dari beberapa negara dengan perekonomian yang mewakili 85 persen dari produk domestik bruto global. Level forum itu naik ke tingkat pemimpin negara pada 2008 saat dunia tengah dilanda krisis keuangan global. Konferensi Tingkat Tinggi pertama dihelat di Washington, dua bulan setelah runtuhnya Lehman Brothers.
Mereka disatukan oleh semangat untuk membahas isu-isu ekonomi. Namun, tahun ini, tepat satu dasawarsa pascakrisis keuangan global, para pemimpin G-20 menuju Argentina, seolah, tanpa semangat kebersamaan itu. Kegagalan para pemimpin negara anggota Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) menghasilkan komunike bersama dalam pertemuan puncak di Port Moresby, Papua Niugini, Minggu (18/11/2018), membuat mereka tampak ragu.
Bagaimana tidak, perbedaan pandangan antara Amerika Serikat (AS) dan China—dua kekuatan utama ekonomi dunia— mengenai sistem perdagangan multilateral menjadi penyebab gagalnya pengesahan dokumen deklarasi bersama itu.
Saat ini, di Buenos Aires, AS kembali menjadi pemain utama yang ditunggu-tunggu responsnya terkait sejumlah persoalan. Paling utama tentu isu perang dagang AS-China. Isu lain adalah Brexit dan konflik di Crimea. Jika melihat deretan persoalan itu, pertemuan puncak di Buenos Aires tentu adalah ideal.
Namun, prospek untuk mencapai sebuah terobosan substansial tampaknya menjadi tipis. Serangan Rusia terhadap kapal perang Ukraina dinilai telah mencederai semangat multilateralisme. Gara-gara isu itu, Presiden AS Donald Trump membatalkan rencana pertemuannya dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Menteri Muda pada Kementerian Eropa dan Luar Negeri Perancis Jean-Baptiste Lemoyne mengatakan, KTT kali ini ibarat berada di sebuah persimpangan jalan, yang sepatutnya dilihat sebagai sebuah momentum. Idealnya, momentum itu digunakan untuk memperbaiki kondisi dengan meminta setiap negara anggota aktif dan proaktif dalam mendorong multilateralisme.
”Negara seperti Perancis dan Indonesia harus mendorong terus multilateralisme itu. Populisme terlihat sangat nasionalis bagi satu negara, tetapi dengan globalisasi yang telah terjadi, rantai pasokan itu telah dilakukan dan ada di mana-mana sehingga dalam pandangan kami populisme itu sesuatu yang tidak mungkin diterapkan,” kata Lemoyne saat berbicara dalam diskusi publik yang digelar Komunitas Kebijakan Luar Negeri Indonesia (FPCI) di Jakarta, Kamis (29/11).
Negosiasi AS-China
Meskipun agenda resmi KTT kali ini berfokus pada isu infrastruktur, pekerjaan di masa depan, dan ketahanan pangan, isu pertarungan tarif AS-China diperkirakan mendominasi konferensi. Persaingan mereka akan mewarnai proses-proses yang berujung pada bagaimana hasil KTT.
Konferensi kali ini menjadi yang pertama kalinya bagi para pemimpin G-20 bertemu sejak Trump memberlakukan tarif sebesar 250 miliar dollar AS pada produk ekspor China ke AS. China menanggapi kebijakan Washington itu dengan tarif impor terhadap barang-barang asal AS.
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) memperingatkan, pekan ini, bahwa eskalasi perang dagang —dengan asumsi tingkat tarif AS terhadap barang-barang China akan ditingkatkan menjadi 25 persen dari 10 persen pada 1 Januari 2019—akan menghambat pertumbuhan ekonomi global. Ironisnya, para pejabat dari beberapa negara G-20, yang sejatinya ingin ketegangan AS-China itu berakhir, masih tidak yakin bahwa pertemuan Trump dan Presiden China Xi Jinping dapat berujung pada ”gencatan senjata”.
Di kubu AS dan China sendiri juga muncul pesimisme. Gedung Putih belum yakin seberapa keras Trump siap menekan Xi terkait perselisihan dagang dan isu lainnya. Seorang pejabat senior Trump mengungkapkan, sang presiden memilah-milah nasihat, yang terkadang bertentangan, dari para pembantu utamanya.
”Ekspektasi (dalam pertemuan) rendah. Namun, menjaga hubungan pribadi tetap merupakan prioritas yang sangat tinggi,” kata pejabat AS itu, merujuk pada Trump dan Xi. Diungkapkan bahwa setiap pihak akan berupaya menjalin hubungan kerja yang erat meskipun ada ketegangan di antara kedua negara.
Ekonom dan akademisi China mengatakan, tujuan utama China di G-20 adalah membuat AS menahan diri dari aksi menaikkan tarif impor pada Januari 2019. Namun, ditegaskan, Xi tidak dapat ditekan untuk menghasilkan kesepakatan yang merugikan Beijing.
”Bahkan, jika mereka mampu mencapai kesepakatan kecil, para pemimpin China dan AS tidak dapat mencapai kesepakatan mendasar sehingga tidak akan ada ’gencatan senjata’ dalam perang dagang itu,” kata Shi Yinhong, kepala Pusat Studi Amerika di Universitas Renmin di Beijing.
Cui Lei, ahli di Departemen Studi Amerika di Institut Studi Internasional China, Beijing, mengaku pesimistis dengan hasil KTT kali ini. Kebuntuan seperti terjadi di KTT APEC bisa saja terjadi. ”Mungkin ada pernyataan prinsip (di Buenos Aires), membenarkan, mereka akan mempertahankan negosiasi dan komunikasi, tetapi saya pikir hal itu akan sulit untuk mencapai kesepakatan komprehensif. Sebab, untuk melakukan itu, kedua belah pihak perlu membuat sebuah konsesi besar,” kata Cui.
Terkait hal itu, Lemoyne mengatakan, setiap negara telah menyiapkan sejumlah rencana, termasuk antisipasi jika KTT gagal menghasilkan komunike. Perancis dan Uni Eropa, misalnya, menurut dia, akan melanjutkan negosiasi perdagangan mereka, baik di tingkat bilateral maupun multilateral, salah satunya negosiasi Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia dan Uni Eropa (IEU-CEPA).
The Financial Times dalam salah satu ulasannya tentang kemungkinan tidak dihasilkannya komunike mengatakan, kolaborasi adalah langkah yang harus segera diambil setelah kepanikan terjadi. Pada November 2008, misalnya, G-20 mengadopsi ikrar untuk tidak memaksakan tindakan proteksionisme. Namun, dalam waktu kurang dari 36 jam, Rusia telah menaikkan tarif atas produk otomotif, langkah itu diikuti negara G-20 lainnya.
Meskipun pascakrisis forum G-20 memainkan peran penting dengan mendorong reformasi regulasi keuangan, diakui jangkauannya terbatas. Negara anggota G-20 menilai kelompok itu tidak memainkan peran yang cukup kuat dalam hal koordinasi. Pemerintah AS dan China pun telah menolak penggunaan forum semacam itu untuk menengahi perselisihan mereka. Kepentingan pemerintah dan domestik setiap negara tetap menjadi acuan setiap pihak.