Ironi Bajaj, Mantan Primadona Tergilas Ketidakpastian Aturan
Oleh
Irene Sarwindaningrum
·4 menit baca
”Saya sudah tidak punya harapan di sini. Penumpang semakin kurang, gas sulit dicari,” kata Ahmad Nur Afifi (24), sopir bajaj, setelah mengikuti unjuk rasa sopir bajaj karena sulitnya bahan bakar gas, di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (30/11/2018).
Bajaj, yang pernah menjadi primadona moda transportasi umum pengganti becak, kini tergilas berbagai kesulitan. Mereka harus terombang-ambing oleh kebijakan pemerintah tentang konversi bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG), tetapi ketersediaan kurang terjamin. Kondisi diperparah oleh penataan transportasi Ibu Kota yang belum juga terwujud optimal, sementara angkutan daring bebas berkeliaran.
Keluhan Ahmad ini merupakan cerminan kegelisahan para sopir bajaj di DKI Jakarta. Hingga saat ini, Dinas Perhubungan DKI Jakarta mencatat terdapat sekitar 10.000 bajaj berbahan bakar gas. Jumlah ini mendominasi sekitar 13.000 kendaraan berbahan bakar gas di Jakarta.
Kendati diwajibkan untuk menggunakan BBG, pemerintah seolah tak memberikan jaminan ketersediaannya. Ade Herman (45), pengemudi bajaj, mengatakan betapa sering kesulitan memperoleh BBG. ”SPBG (stasiun pengisian bahan bakar gas) sering tutup, tidak cuma sekali,” ujarnya.
Puncaknya adalah sepekan terakhir saat beberapa SPBG di Jakarta tutup serentak bersamaan. Para sopir bajaj harus berkeliling mencari SPBG yang beroperasi. Di sana mereka harus mengantre hingga tujuh jam, bahkan menginap semalam di SPBG untuk mendapat BBG.
Tak tahan dengan kondisi ini, Ketua Bajaj Komunitas (Batas) Aris Fazani pun mengirim surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Surat terbuka dilanjutkan dengan unjuk rasa.
Sasaran pertama
Sejak tahun 2007, Fauzi Bowo yang menjabat Gubernur DKI Jakarta saat itu menginstruksikan agar bahan bakar bajaj dikonversi ke BBG. Hal ini sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Selanjutnya, aturan itu diperkuat dengan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 141 Tahun 2007 tentang Penggunaan BBG untuk Angkutan Umum dan Kendaraan Operasional Pemerintah Daerah.
Aturan di DKI Jakarta ini merupakan turunan dari kebijakan pemerintah pusat yang menggalakkan program konversi BBM ke BBG sejak tahun 2002. Sempat tak berkembang, program konversi ini kembali digalakkan lewat Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2012 tentang penyediaan, pendistribusian, dan penetapan harga compressed natural gas (CNG) untuk transportasi.
Kebijakan ini mempunyai banyak tujuan, mulai dari mengurangi polusi udara, antisipasi BBM yang semakin lama akan semakin langka dan mahal, serta meringankan beban keuangan negara atas subsidi BBM.
Bajaj menjadi sasaran pertama kebijakan konversi tersebut. Kendati patuh, nasib mereka tetap tersisih.
Aris dalam surat terbukanya mengatakan, para sopir yang tergabung di Batas merasa janggal dengan kompaknya kerusakan SPBG di wilayah DKI Jakarta. Belum lagi tak adanya prioritas untuk mengisi BBG dibandingkan moda lain. ”Padahal, bajaj selama ini paling konsisten dengan pemakaian bahan bakar ramah lingkungan,” katanya.
Pengganti becak
Sejarah panjang bajaj di Ibu Kota dimulai dari Perda DKI Jakarta tentang Pola Dasar dan Rencana Induk Jakarta Tahun 1965-1985 yang tak lagi mengakui becak sebagai angkutan umum. Selain dinilai menjadi biang keladi ketidaktertiban lalu lintas, becak juga dianggap sebagai cermin eksploitasi manusia atas manusia.
Surat Keputusan Gubernur DKI pada Juni 1975 yang ditandatangani Ali Sadikin memasukkan bajaj sebagai anggota angkutan umum jenis keempat. Bajaj merupakan satu-satunya angkutan umum keempat yang bertahan setelah minicar, helicak, dan mebea gugur dari Ibu Kota.
Angkutan jenis keempat merupakan angkutan lingkungan atau melayani wilayah permukiman. Dinas Perhubungan DKI Jakarta sudah lama merancang pola transportasi Ibu Kota, dengan bajaj atau angkutan roda tiga akan menjadi tulang punggung transportasi permukiman yang terintegrasi dengan moda angkutan lain. Pola transportasi ini sekarang disebut Jak Lingko.
Bajaj merupakan korban aturan pemerintah yang dilakukan setengah hati. Padahal, bajaj yang setiap enam bulan sekali harus mengikuti uji kir relatif terjamin dari sisi keselamatan publik.
Namun, belum sampai pola transportasi ini terwujud, keberadaan bajaj yang sudah kesulitan memperoleh BBG semakin tergilas oleh angkutan daring. Apalagi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali mengisyaratkan memperbolehkan becak beroperasi lagi di Jakarta.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Agus Pambagio, mengatakan, bajaj merupakan korban aturan pemerintah yang dilakukan setengah hati. Padahal, bajaj yang setiap enam bulan sekali harus mengikuti uji kir relatif terjamin dari sisi keselamatan publik. Belum lagi sumbangannya dalam mengurangi pencemaran dan beban keuangan negara.
”Tapi, sekarang justru angkutan online yang pernah dinyatakan ilegal sebagai angkutan umum, tak ikut uji kir, dibiarkan,” lanjutnya.
Menanggapi unjuk rasa ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjanjikan akan memfasilitasi dengan mengirim surat ke pemerintah pusat. Sebab, urusan BBG, kata Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, adalah urusan pemerintah pusat. Sang mantan primadona itu pun harus menanti.