JAKARTA, KOMPAS - Penguatan pengawasan eksternal dalam Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim hendaknya bukan dipandang untuk mengurangi independensi hakim, melainkan justru untuk melengkapi independensi hakim dengan akuntabilitas lebih baik. Penguatan pengawasan eksternal diharapkan dapat menerjemahkan skema pembagian kewenangan pengelolaan badan peradilan, terutama dalam manajemen hakim.
Jaja Ahmad Jayus, Ketua Komisi Yudisial, Jumat (30/11/2018) di Jakarta, mengatakan, semangat utama dalam RUU Jabatan Hakim adalah konsep pembagian kewenangan (shared responsibility). Namun, konsep ini dimaknai tak semata-mata pembagian kekuasaan atau tanggung jawab antarlembaga dalam pengelolaan badan peradilan.
”Intinya, isu yang berkembang adalah shared responsibility. Namun, menurut saya, sebenarnya sudah berganti haluan dengan konsep independensi yang akuntabel. Agar hakim independen, perlu perluasan pengawasan dan pembagian kewenangan antara Mahkamah Agung dan pihak lain,” kata Jaja.
Pihak lain yang perlu dilibatkan dalam manajemen hakim adalah KY. Namun, semua itu berpulang pada pembuat regulasi, yaitu DPR dan pemerintah. ”Kalau itu diserahkan kepada KY, juga tak masalah,” kata Jaja.
Terkait upaya mendorong rekomendasi sanksi kepada hakim agar bersifat mengikat atau wajib dipatuhi MA, Jaja mengakui, hal itu menjadi salah satu fokus dari usulan KY di RUU tersebut.
Seperti diberitakan, DPR dijadwalkan menyelesaikan pembahasan RUU Jabatan Hakim pada awal 2019. Selain memperkuat kewenangan KY mengawasi perilaku hakim, RUU tersebut diharapkan dapat mencegah hakim korupsi. RUU ini penting menyusul penangkapan dua hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Iswahyudi Widodo dan Irwan, serta panitera pengganti PN Jakarta Timur, Muhammad Ramadhan, dan advokat Arif Fitrawan (Kompas, 29 November 2018).
Sebelumnya, dalam konferensi pers, Juru Bicara MA Suhadi mengatakan, segala upaya dan masukan perbaikan bagi kelembagaan MA diterima dengan baik. Namun, ia menegaskan, amanat UU MA yang menyebutkan pembinaan dan pengawasan hakim dari sisi internal menjadi kewenangan MA, termasuk pemberian sanksi bagi hakim yang melanggar.
”KY melakukan pengawasan eksternal. Selama ini juga KY banyak melakukan pembinaan hakim, antara lain pembinaan mengenai integritas dan kode etik hakim. Hakim yang ikut kegiatan pembinaan diharapkan bisa meningkatkan integritas dan moral sesuai kode etik,” kata Suhadi.
Namun, anggota Panitia Kerja RUU Jabatan Hakim DPR dari Fraksi Partai Golkar, John Kenedy Azis, menegaskan, tak ada alasan MA menolak pengawasan KY setelah tertangkapnya dua hakim pengadilan negeri. ” Kita semua, termasuk MA, tentu tak ingin masuk ke lubang yang sama ke sekian kali. Jadi, kalau tahu akibat pengawasan lemah, kenapa kita, juga MA, membiarkan hal tersebut?” kata John.
Keniscayaan lembaga lain
Pandangan senada diungkapkan Deputi Direktur Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar. ”Beberapa riset menunjukkan keterlibatan lembaga lain dalam manajemen hakim adalah keniscayaan, misalnya promosi dan mutasi, atau administrasi peradilan. Pembagian tanggung jawab selain meringankan beban juga membantu MA optimal melayani hak-hak publik,” kata Erwin, mencontohkan Perancis dan Portugal.
Sementara itu, untuk mencegah hakim bermain perkara dan menerima suap, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyatakan, KPK terus mendorong evaluasi tata kelola peradilan dan prosedur penanganan perkara yang transparan. Situs Sistem Informasi Penelusuran Perkara di tiap pengadilan seharusnya juga selalu diperbarui dan dilengkapi dengan informasi rinci. Para pihak yang kerap berinteraksi perlu dipantau.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menambahkan, KPK juga tengah mengkaji manajemen perkara di peradilan sebagai bagian dari upaya perbaikan.