Percepat Perbaikan SDM di Lapas
Sejumlah persoalan mendesak diselesaikan di lapas dan rutan. Selain kelebihan penghuni dan terbatasnya fasilitas, masalah lain adalah perbaikan sumber daya manusia di tempat itu.
JAKARTA, KOMPAS – Adanya perubahan kebijakan manajemen Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Banda Aceh ditengarai menjadi faktor pemicu terjadinya kerusuhan dan larinya 113 narapidana di lapas tersebut, Kamis malam. Peristiwa ini pun menjadi cerminan dari lemahnya kemampuan tangkal petugas menghadapi ancaman dari dalam lapas.
Larinya 113 napi dari total 726 napi penghuni Lapas Kelas IIA Banda Aceh itu, menurut Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sri Puguh Budi Utami, Jumat (30/11/2018), di Jakarta, diprovokasi oleh beberapa napi yang berteriak-teriak di sekitar pagar pembatas antara blok penjara dengan kantor lapas. Setelah adanya provokasi itu, petugas yang terdiri atas kepala pengamanan lapas dan kepala seksi keamanan mendatangi mereka untuk mengatasi keadaan. Namun, petugas diserang oleh napi menggunakan cairan yang diduga merupakan air cabe.
Dalam keterangan persnya, Jumat kemarin, Ditjen Pas menyebutkan, keributan yang dipicu oleh tiga napi itu membuat sekitar 300 napi lainnya yang sedang melaksanakan sholat maghrib berjamaah di masjid yang berada di luar blok penjara terpancing untuk melarikan diri. Napi lari dengan menyerang sejumla petugas, memcahkan kaca, dan mendobrak jeruji jendela dengan barbel dari beton yang merupakan fasilitas olahraga napi. Hingga Jumat siang, 26 napi dari 113 napi yang melarikan diri berhasil ditangkap polisi. Masih ada 87 napi lain yang dalam pengejaran.
“Kami mengimbau kepada napi lainnya untuk segera menyerahkan diri. Kami bekerja sama dengan Kepolisian Daerah Aceh untuk mendalami motif pelarian napi ini sebenarnya. Pencarian terhadap napi yang melarikan diri juga terus dilakukan oleh petugas yang bekerja sama dengan kepolisian,” kata Utami.
Kejadian ini pun di luar dugaan petugas, karena sehari-harinya lapas itu relatif aman, dan bukan merupakan lapas yang kelebihan penghuni. Lapas Kelas IIA Banda Aceh itu memiliki kapasitas untuk 800 orang. Saat kejadian, lapas itu dihuni 726 napi, dan sedang dijaga tujuh petugas berstatus calon pegawai negeri sipil (CPNS), dan tiga petugas PNS. Lapas tidak dalam kondisi kelebihan penghuni.
Menurut Utami, penyelenggaraan shalat maghrib berjamaah di masjid itu merupakan kebijakan yang diambil pihak lapas setelah menerima masukan dari banyak pihak, utamanya karena ada dorongan dari kebijakan daerah setempat. Tidak semua napi yang melaksanakan sholat, Kamis malam, melarikan diri. Dari keterangan para napi yang berhasil ditangkap kembali, mereka mengaku dipaksa teman-temannya untuk lari.
“Kami juga sudah membentuk satgas yang bekerja sama dengan TNI dan Polri untuk mengejar napi yang masih lari. Mereka yang berhasil ditangkap tidak akan digabung dengan napi yang tidak melarikan diri. Kami mengimbau mereka agar menyerahkan diri, karena Kapolda sudah menerapkan status DPO dan akan dilakukan pengejaran,” katanya.
Menurut Utami, pihaknya menduga ada unsur kekecewaan atau kemarahan sejumlah napi kepada petugas karena adanya perubahan kebijakan. Di bawah pimpinan kepala lapas yang baru, izin-izin untuk ke luar bagi napi lebih dibatasi karena pimpinan menerapkan prosedur operasional standar (SOP). Perizinan menjadi lebih ketat di bawah pimpinan baru.
“Saat ini pendalaman motif yang menyebabkan mereka lari masih dilakukan oleh polisi. Sebagaimana diketahui, sejak dipimpin oleh kepala lapas yang sekarang, SOP begitu ketat. Kalau dulu izin dibolehkan, sekarang SOP ketat sehingga tidak bisa izin dengan alasan yang tidak jelas,” ujar Utami.
Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjen Pas Ade Kusmanto mengatakan, pihaknya menduga provokasi oleh tiga napi yang membuat keributan di pagar pembatas blok penjara itu telah direncanakan sebelumnya. Penyiraman dan serangan kepada petugas menggunakan air cabe diduga telah direncanakan. Mereka memprovokasi napi lainnya yang sedang sholat untuk melarikan diri dan merusak sejumlah fasilitas.
“Napi sempat lari ke aula dan pintu gerbang penjagaan, tetapi akhirnya berbalik kembali. Mereka merusak jendela pembatas bangunan lapas dengan areal persawahan di sekitarnya. Mereka berhasil keluar melalui jendela yang jerujinya telah dirusak menggunakan barbel,” kata Ade.
Kemampuan petugas
Direktur Center for Detention Studies (CDS) Ali Aranoval mengatakan, sejumlah kerusuhan di lapas dipicu tidak hanya oleh kelebihan penghuni (overcroded), melainkan juga karena kemampuan (skill) dan integritas petugas lapas yang lemah. Faktor petugas seharusnya bisa diatasi melalui pendidikan dan pelatihan intensif.
“Faktor petugas ini menjadi faktor penentu. Tidak jarang ditemui ada petugas yang selama puluhan tahun bekerja di lapas yang sama, sehingga mereka berkembang menjadi penguasa kecil yang dominan di lapas tersebut. Pergantian kepala saja tidak akan memberikan dampak efektif dalam perbaikan manajemen lapas, bila tidak diikuti sistem promosi dan mutasi pegawai yang baik di tingkat bawah,” kata Ali.
Dalam terjadinya kerusuhan, menurut Ali, tidak tertutup kemungkinan petugas ikut memainkan keadaan, misalnya karena mereka tidak suka dengan pimpinan yang baru. “Tidak jarang pegawai itulah yang dominan dan amat berperan dalam lapas, termasuk bila mereka tidak suka dengan pimpinan, mereka bisa saja membuat kerusuhan. Jadi ada adagium di dunia pemasyarakatan, yakni jauh lebih sulit mengendalikan petugas daripada napinya,” kata Ali.
Selain skill dan integritas petugas, minimnya jumlah petugas juga menjadi persoalan klasik dalam pemasyarakatan. Seharusnya persoalan ini pun menjadi perhatian kementerian, sehingga tidak lagi terjadi jumlah petugas amat timpang dibandingkan dengan jumlah napi.
Kondisi bangunan yang kurang baik, juga memicu mudahnya lapas didobrak. Menurut Ali, pada umumnya bangunan penjara di Tanah Air tergolong sebagai bangunan penjaara untuk keamanan medium atau medium security, bukan keamanan tinggi (high security).
Pidana alternatif
Ali mengatakan, selain lemahnya petugas yang merupakan problem internal lapas, ada kendala kelebihan penghuni yang tidak bisa diatasi oleh Ditjen Pas sendirian. Kebijakan politik hukum pidana nasional menentukan bisa atau tidaknya kelebihan penghuni lapas ini diatasi.
Data dari Ditjen Pas menunjukkan, saat ini ada 250.000 napi dan tahanan di seluruh Indonesia. Jumlah itu kelebihan dua kali lipat dari kapasitas ruang penjara yang ada, yakni yang hanya mampu menampung 125.700 napi dan tahanan.
Pidana alternatif di luar pemidanaan badan atau penjara akan membantu pengurangan kelebihan penghuni lapas. Ditjen Pas mendukung dimasukkannya pidana alternatif di dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). “Dengan pidana alternatif seperti kerja sosial, tidak semua orang harus dipenjara, sehingga secara tidak langsung mengurangi jumlah napi. Hal itu juga mengurangi beban pembiayaan yang ditanggung negara,” kata Utami.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara mengatakan, saat ini orientasi penegakan hukum di Indonesia masih berorientasi pemenjaraan. Dari sekitar 23 alternatif pidana di luar penjara, hanya tiga jenis pidana alternatif yang diakomodir pembuat regulasi di dalam RKUHP. Tiga jenis pidana alternatif itu ialah hukuman kerja sosial, hukuman pengawasan (percobaan), dan pidana angsuran (pidana yang hanya dijalani pada Sabtu dan Minggu).