Bunga Asing, Akar Lokal
Evan Ziporyn, Kepala Seni Teater dan Musik di Massachusetts Institute of Technology, terpana saat mendengar gamelan untuk pertama kalinya. Dimainkan secara ansambel atau berkelompok, dia mendapati suasana unik dan magis dari bebunyian yang dihasilkan perangkat musik itu.
Kesaksian Evan itu membuka film dokumenter Bali: Beats of Paradise yang diputar perdana di Samuel Goldwyn Theater di Los Angeles, California, Amerika Serikat, Rabu (7/11/2018). Film berdurasi 55 menit yang disutradarai oleh Livi Zheng itu mengulas perihal gamelan di tanah ”Paman Sam” melalui sosok Nyoman Wenten, seorang pengajar etnomusikologi di California Institute of the Arts.
Wenten yang sudah tinggal di Los Angeles selama 40 tahun tengah merampungkan karya kolaborasi berupa video musik bersama seorang musisi genre funk, Judith Hill. Penyanyi yang meraih penghargaan Grammy berkat film musik 20 Feet from Stardom itu berpengalaman sebagai penyanyi latar untuk beberapa nama besar industri musik dunia, seperti Stevie Wonder dan Michael Jackson.
Video musik itu menjadi titik temu dua dunia antara Wenten dan Hill. Melalui lagu berjudul ”Queen of the Hill”, musik bertempo cepat dan permainan unsur elektronik berpadu dengan permainan gamelan dan tarian Bali. Sebuah benturan kebudayaan.
Persiapan pembuatan video musik tersebut sekaligus menjadi kesempatan untuk mengungkap perjalanan hidup Wenten hingga ia tiba di pantai barat Amerika Serikat, kisah cintanya dengan istrinya Nanik Wenten, hingga bagaimana kesenian yang dia bawa dari Tanah Air bersinggungan dengan orang-orang di Amerika Serikat. Keinginannya sederhana, video tersebut bisa ditonton hingga 1 juta lebih di layanan video Youtube.
Pembuatan film dokumenter itu juga tidak lepas dari peran dua orang, yakni Julia Gouw, mantan bankir yang menjadi diaspora di sana, dan Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan Umar Hadi. Umar mendukung pengerjaan proyek ini sejak dia masih bertugas sebagai Konsul Jenderal Indonesia di Los Angeles.
”Rampungnya film ini memudahkan Pemerintah Indonesia memperkenalkan budaya dan seni tradisi ke luar negeri. Kita bisa melihatnya sebagai jembatan kultural dua negara,” kata Umar sewaktu dijumpai di pemutaran perdana di Samuel Goldwyn Theater.
Menurut Livi, gamelan sendiri sebetulnya sudah pernah mewarnai industri hiburan Hollywood. Dia menyebut beberapa contoh, seperti film Avatar besutan James Cameron dan salah satu episode dari serial sains fiksi Star Trek: The Next Generation yang menggunakan gamelan.
Antusias
Sehari setelah pemutaran perdana Bali: Beats of Paradise, di ruangan berjendela kaca yang menghadap lapangan rumput di kampus California Institute of the Arts, Wenten duduk bersimpuh sambil memegang kendang. Dia duduk menghadap beberapa orang berambut pirang yang masing-masing siap di hadapan perangkat musiknya: bonang, demung, saron, dan peking.
Ansambel itu memainkan ”Siwa Nata” dengan tempo yang bisa berubah dalam waktu singkat, dari pelan jadi sebaliknya. Jemari para pemain gamelan gesit bergerak di atas alat musik untuk tetekep atau menutup nada yang dibunyikan sebelumnya.
Begitu permainan selesai, mereka tertawa karena pemain gong ternyata absen. Mereka semua tahu bahwa gong menandakan klimaks sebuah pertunjukan. Sesi itu berlangsung di tengah diskusi bersama mahasiswa yang terlibat dalam produksi film dokumenter Bali: Beats of Paradise.
Jaslyn Loftin adalah mahasiswi yang menghabiskan 1,5 tahun belajar gamelan di laboratorium musik itu. Baginya, gamelan punya kekhasan pada melodi yang kompleks dan saling terikat, tidak banyak ditemui pada alat musik modern pada umumnya.
”Yang menantang adalah bagaimana kita harus mematikan nada sebelumnya sebelum memainkan nada selanjutnya,” kata Jaslyn saat menerangkan tentang tetekep.
Sebagai mahasiswi yang mengambil konsentrasi musik kontemporer, dia sangat optimistis untuk bisa memanfaatkan pengalamannya bersentuhan dengan gamelan dalam membuat karya-karya di masa mendatang.
Sementara Kayle Khanmohamed memilih mengisi waktu selepas wisuda dengan berlatih gamelan di tempat yang sama. Lulusan program komposisi musik itu menikmati waktu sambil bermain gamelan di sana, termasuk belajar bahasa Indonesia. Melodi yang unik menjadi salah satu alasan untuk mencintai alat musik ini.
Sementara Jody Diamond mengenal gamelan sejak 40 tahun lalu ketika ia masih berusia 17 tahun. Ia masih mengingat dengan jelas awal perkenalannya dengan gamelan. Ketika dia memainkan perangkat musik itu, suara di dalam dirinya berkata, ”Kamu akan memainkannya selama sisa hidupmu.”
Kini Jody menjadi pengajar gamelan dan mendirikan American Gamelan Institute. Menurut Jody, gamelan sudah bersentuhan dengan benua Amerika sejak tahun 1969, tidak lama sebelum dia memainkannya pertama kali di CalArts.
Jody berpendapat, antusiasme warga Amerika Serikat untuk belajar gamelan mungkin berbeda dengan warga di Indonesia yang lahir dan menjumpainya melalui ritual-ritual budaya. Bagi mereka, bermain gamelan seperti menemukan cinta yang baru melalui alat musik.
”Meski pada satu titik, kami harus mengakui untuk tidak bisa belajar atau menikmati 100 persen layaknya di Indonesia karena tidak semua bisa berbahasa Jawa,” kata Jody.
Alternatif yang dia lakukan adalah membuat komposisi musik gamelan dengan bahasa Inggris, dengan harapan musik tersebut bisa diterima lebih mudah. Jody pun memainkan meski barang sebait dan ditutup dengan gong.
Gamelan, lanjutnya, kini sudah diperkenalkan sejak dini. Perkakasnya pun bahkan sudah ada yang dibuat di Amerika Serikat menggunakan bahan aluminium, menghasilkan bunyi yang lebih ringan ketimbang logam. Mereka menyebutnya ”gamelan Amerika”.
”Bagi kami, gamelan kini menjadi bunga yang datang dari tanah asing, tetapi kini memiliki akar yang lokal. Inilah keterikatan budaya antara Indonesia dan Amerika Serikat,” kata Jody.