Gong Antibohong
Gong tidak berbohong. Hanya saja, maukah kita benar-benar mendengar dan memahaminya? Sementara itu, suara-suara di sekitar kita, terlebih lagi suara-suara rekaman di media teknologi, bisa jadi hanya sebuah fiksi dan suara kebohongan.
”Ini sebuah refleksi atas kenyataan hidup bersama. Sekarang riuh sekali di media sosial. Pementasan kami ingin menggugah kesadaran dari riuhnya media sosial dengan sebuah pertanyaan, apakah kita benar- benar mendengar dan memahami,” kata sutradara Teater Garasi Yogyakarta, Yudi Ahmad Tajudin, menjelang pementasan geladi bersih teater bunyi Gong Ex Machina di Gedung Kesenian Jakarta, Rabu (28/11/2018).
Pementasan untuk publik digelar pada 29-30 November 2018. Gong Ex Machina terinspirasi judul Deus Ex Machina dari sebuah konvensi pentas teater era Yunani Tua di sekitar abad ke-5 Sebelum Masehi, sekitar 2.500 tahun silam. ”Deus” berarti dewa. ”Ex Machina” dapat diartikan hadir melalui mesin. Deus Ex Machina memiliki pengertian dewa yang hadir melalui mesin.
Konon dalam Deus Ex Machina kehadiran dewa dilakukan dengan sebuah mesin seperti crane, mesin pemindah material. Jadinya, dewa hadir melalui crane atau mesin.
Gong Ex Machina memiliki kedekatan dengan Deus Ex Machina karena gong itu sarana manusia untuk berkomunikasi dengan dewa. Gong Ex Machina, sebagai suara gong yang hadir melalui mesin, dihadirkan dengan teknologi digital.
Untuk mementaskan Gong Ex Machina, Yudi berkolaborasi dengan seorang komposer dan seniman bunyi asal Jepang, Yasuhiro Morinaga. Morinaga sebelumnya meriset gong di beberapa negara di Asia Tenggara.
Menurut Yudi, dalam proses kreatif pentas ini, komposisi bunyi oleh Morinaga dihadirkan terlebih dulu. Karena itu, pementasan Gong Ex Machina ini disebut sebagai pentas teater bunyi, bukan teater lakon yang terlebih dulu menghadirkan naskah.
Karena sebuah teater bunyi itu pula, keluaran suara juga tidak hanya dari panggung. Beragam pelantang suara disebar mengelilingi penonton. Tentu kenyamanan mendengar akan paling terasa bagus ketika duduk di tengah arena penonton.
”Dari komposisi bunyi direspons dengan gerak dan membentuk narasi tekstual. Adegan dibangun berdasar interaksi aktor, sutradara, dan komposer,” kata Yudi.
Sayang sekali, sehari menjelang pementasan geladi bersih, Morinaga mengalami cedera. Ia terjatuh di panggung Gedung Kesenian Jakarta dan harus dirawat intensif di rumah sakit karena mengalami patah kaki. Peran Morinaga pun digantikan Tetsushi Hirai, yang dikenal sebagai pengarah tata suara andal di Jepang.
Adegan
Hirai mengatakan, Gong Ex Machina memiliki 10 adegan yang sudah disepakati. Sebelum Morinaga terjatuh, sistem tata suaranya baru selesai untuk delapan adegan. ”Saya merampungkan tata suara untuk dua adegan yang belum tergarap,” kata Hirai.
Hirai menunjukkan catatan berhuruf kanji Jepang dari Morinaga. Itu bukanlah naskah pementasan, melainkan catatan adegan berdasarkan imajinasi bunyi.
”Suara gong pernah saya dengar. Desain sistem suaranya bisa langsung saya bayangkan, tetapi susahnya suara gong itu sama dan bagaimana menciptakan kesan yang berbeda-beda?” ujar Hirai.
Hirai mengatakan, gong sebagai sumber suara masuk ke dalam sistem penata suara. Kemudian, suara itu keluar melalui pelantang suara. Suara yang keluar dari pelantang suara itulah yang bisa mempunyai makna berbeda-beda. ”Suara gong mempunyai makna spiritual,” katanya.
Hirai kemudian menerjemahkan Gong Ex Machina sebagai pertemuan antara masa lalu dan masa kini yang melahirkan dunia baru. Gong mewakili masa lalu. Teknologi tata suara digital mewakili masa kini. Gong sebagai warisan tradisi yang bertahan sampai sekarang. Akan tetapi, teknologi digital untuk tata suara itu tercipta setelah gong tersebut ada.
Asap putih
Pementasan diawali dengan embusan asap putih, memberi kesan kabut tebal. Di tengah- tengah panggung pentas, sosok narator duduk di kursi di belakang sebuah meja.
Ia tak lain adalah Yudi, sang sutradara. Pada mulanya, ia memberikan sedikit narasi bahwa sesungguhnya yang harus hadir di tempat itu adalah Morinaga, tetapi Morinaga berhalangan.
Suara gemericik air kemudian terdengar. Yudi mengatakan, itu suara air sungai di Jepang yang direkam Morinaga. ”Tetapi, apakah kita benar-benar tahu bahwa itu suara air dari sungai? Suara-suara rekaman bisalah sebuah fiksi. Suara rekaman bisa suara-suara kebohongan!” ujar Yudi.
Kemudian ia keluar panggung. Lalu, masuk seorang aktor yang menyeret sebuah gong besar. Disusul aktor lain yang memanggul gong di punggungnya. Dari arah kursi penonton masuk pula dua aktor masing-masing memanggul gong besar di punggung. Latar suara dari teknologi digital mengeluarkan dentuman gong.
Terdengar narator mengisahkan vibrasi dengung panjang dalam menciptakan gelombang. Sebuah nebula menggumpal, mengeras, dan menjadi planet-planet. Setitik di antaranya, tak berarti, menjadi Bumi. Dari dengung panjang kemudian dalam tujuh hari tercipta Bumi. Di situ tersusun pulau-pulau di antaranya yang kita diami.
Adegan demi adegan berlangsung bergantian. Keberlangsungan hidup manusia disorot. Inilah keriuhan manusia sekarang, seperti dikatakan Yudi. Suara-suara saling menumpuk. Ada dentam gong, ada pula denting suara logam lain. Ada suara desing peluru, ada suara pesawat terbang, ada suara helikopter, suara mobil berat kendaraan militer, dan sebagainya.
Adegan beralih dengan kehadiran seorang aktor memutar piringan yang mengalunkan suara gong. Masuk para pembawa gong kecil, sedang, dan besar ke panggung.
Mereka memainkan gong itu. Sampai suasana beralih hening, masuklah seorang aktor dan melepas baju untuk mandi. Benar-benar mandi dengan air dari ember di panggung.
Ia menggosok gigi dan membuang airnya ke ”tempayan” yang ternyata sebuah gong besar yang terbalik. Selesai mandi, aktor itu kembali mengenakan baju dan duduk meneguk secangkir air dan menyantap kudapan. Di panggung, cahaya putih kemudian menyala. Cahaya itu ditembakkan ke arah penonton. Menyilaukan hingga sulit melihat adegan di panggung.
Terlihat samar orang menari di atas gong besar
yang tergeletak di lantai panggung hingga kemudian pementasan ditutup dengan suara-suara, ”Apakah kau sungguh-sungguh mendengarku? Apakah kau sungguh-sungguh memahamiku?”
Gong Ex Machina, menabuh gong untuk kesadaran kita, kesadaran untuk menentang kebohongan, menentang hoaks.