Membangun Kesadaran Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
JAKARTA, KOMPAS — Peringatan Hari Disabilitas Internasional yang jatuh pada 3 Desember 2018 menjadi momentum menggugah kesadaran terkait pentingnya pemenuhan hak dan perlindungan hak penyandang disabilitas. Pemerintah memastikan, negara menjamin kelangsungan hidup setiap warga negara, termasuk penyandang disabilitas.
”Semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum, serta hak dan kewajiban yang sama. Ini melandasi komitmen dari pemerintahan untuk memperjuangan hak bagi penyandang disabilitas,” ujar Agus pada perayaan menyambut Hari Disabilitas Internasional (HDI) di Kota Bekasi, Jawa Barat, Minggu (2/12/2018).
Perjuangan itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Melalui UU tersebut, pemerintah mengajak seluruh elemen masyarakat untuk mewujudkan persamaan hak dan memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk bekerja dan berkarya di lingkungan masyarakat.
”Agar penyandang disabilitas bisa hidup lebih sejahtera, bisa hidup lebih mandiri, lebih nyaman, dan tanpa diskriminasi,” ujar Agus. Adapun pemerintah mengusung tema ”Indonesia Inklusi dan Ramah Disabilitas” pada HDI 2018.
Agus menambahkan, tema tersebut diharapkan menjadi sebuah gerakan yang mampu menaungi segala sektor bagi dan dari kehidupan penyandang disabilitas. Semisal, dalam dunia pendidikan, penyandang disabilitas mempunyai kesamaan hak untuk mendapatkan pendidikan yang memadai untuk modal menjalani kehidupan.
Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Edi Suharto mengatakan, pada HDI 2018, pemerintah menitikberatkan sosialisasi kepada masyarakat terkait pemenuhan hak penyandang disabilitas. ”UU No 8/2016 kan belum tersosialisasi sepenuhnya. Oleh karena itu, masyarakat perlu mengetahui bahwa pemerintah menjamin hak-hak penyandang disabilitas, termasuk pendidikan, pekerjaan, dan aksesibilitas,” ujarnya.
Dalam UU tersebut, pemerintah menyediakan kuota 2 persen bagi penyandang disabilitas untuk bekerja di instansi pemerintah, termasuk badan usaha milik negara, serta 1 persen di dunia usaha. Hal itu, kata Edi, wujud nyata dari peran pemerintah dalam memenuhi hak penyandang disabilitas.
Yudha (33), penyandang disabilitas, berharap pemerintah semakin meningkatkan perhatian kepada penyandang disabilitas lewat bidang aksesibilitas, kesehatan, pekerjaan, dan pendidikan. ”Untuk perhatiannya sudah ada, tetapi saya harap bisa ditingkatkan lagi,” ujar Yudha yang menggunakan kursi roda karena tumor menggerogoti tulang punggungnya sejak usia 6 tahun.
Dia menambahkan, selain pemerintah, pihak-pihak lain, seperti swasta dan masyarakat, juga perlu meningkatkan perhatian terhadap penyandang disabilitas. Menurut dia, pengertian inklusi adalah keterlibatan semua pihak untuk mewujudkan Indonesia ramah disabilitas.
Kesiapan masyarakat
Secara terpisah, David Tjahana, Konsultan Gerakan Aksesibilitas Umum Nasional (GAUN), menilai, perhatian terhadap keberadaan penyandang disabilitas juga harus diikuti oleh kesiapan masyarakat dalam mewujudkan Indonesia ramah disabilitas.
”Kesiapan masyarakat non-disabilitas juga harus tetap didorong, misalnya, fungsi jalur pemandu. Dalam hal ini, masih banyak pedagang kaki lima yang menggunakan ubin kuning tersebut sebagai batas mereka jualan. Padahal, tujuannya bukan itu,” kata David.
Jurnal Perancangan Aksesibilitas untuk Fasilitas Publik (2014) menyebutkan, jalur pemandu berfungsi untuk memberikan informasi perjalanan bagi masyarakat disabilitas dengan memanfaatkan tekstur ubin sebagai pengarah dan peringatan. Tekstur ubin bermotif garis-garis menunjukkan arah perjalanan, sedangkan ubin bermotif bulat-bulat menandakan peringatan terhadap perubahan situasi sekitarnya.
David menambahkan, petugas layanan pada fasilitas publik, seperti transportasi, rumah sakit, dan bank, perlu dibekali kemampuan berinteraksi dengan penyandang disabilitas. Interaksi itu menjunjung nilai kesetaraan yang bermartabat. ”SDM di layanan publik harus melihat penyandang disabilitas bukan dengan kacamata ’kasihan’, melainkan dengan kacamata kesetaraan,” kata David.
Keluarga
Di sisi lain, kata David, kesiapan juga melingkupi sektor keluarga untuk menerima penyandang disabilitas sebagai anggota keluarga. ”Ada dan banyak anak penyandang disabilitas disembunyikan oleh keluarga. Mereka tidak pernah diajak bersosialisasi dengan masyarakat dan menikmati pendidikan yang layak. Bahkan, banyak anak penyandang disabilitas tidak dicantumkan dalam kartu keluarga,” kata David.
Akibat ”penyembunyian” tersebut, jumlah penyandang disabilitas tidak tercatat dengan pasti sehingga berdampak pada perencanaan dan pengalokasian dana yang tidak tepat sasaran.
Sementara itu, Agus mengatakan, dampak itu terlihat dari perbedaan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2017 dengan Survei Penduduk antar Sensus (Supas) 2017 terkait populasi penyandang disabilitas di Indonesia. ”Di Susenas ada 6 juta penyandang disabilitas di Indonesia, sedangkan di Supas ada 20 juta penyandang. Ini kan perbedaan luar biasa dari 6 juta ke 20 juta,” kata Agus.
Oleh karena itu, Agus mengimbau masyarakat yang memiliki anggota keluarga penyandang disabilitas proaktif mendata ke dinas sosial di kabupaten/kota ataupun provinsi. Langkah itu bertujuan agar pemerintah memiliki pemetaan penyandang disabilitas di Indonesia sehingga mampu merumuskan kebijakan tepat sasaran.
Agus mengatakan, masyarakat yang memiliki anggota keluarga penyandang disabilitas tidak perlu malu mengakui keberadaan mereka. Lewat HDI, pemerintah berupaya membuka cakrawala masyarakat bahwa penyandang disabilitas memiliki potensi yang bisa digali dan setara dengan individu lainnya.
Keterlibatan
Puncak perayaan HDI akan berlangsung pada Senin (3/12/2108). Perayaan itu menampilkan ekspos program layanan inklusi dan produk layanan penyandang disabilitas dari 70 gerai yang diikuti 3.000 peserta penyandang disabilitas pemerintah ataupun mitra pemerintah.
Salah satu mitra pemerintah dalam mengelola produk layanan penyandang disabilitas adalah Balai Literasi Braille Indonesia (BLBI) Abiyoso. Kepala BLBI Abiyoso, Dani Widarman, mengatakan, BLBI bertujuan mewujudkan kesetaraan bagi penyandang disabilitas netra dalam memperoleh bahan bacaan informasi.
Hal itu dilakukan dengan mencetak dan menerbitkan buku braille dan buku bicara, menyusun naskah majalah, buku braille, dan program. Selain itu, juga mendukung peralatan cetak braille dan menyelenggarakan perpustakaan braille, serta memperluas jaringan kerja sama dan penyebaran informasi.
”Distribusi kami mencakup seluruh Indonesia, tetapi belum merata karena masih banyak yang belum mengenal produk ini. Kecuali yang sudah berlangganan, seperti sekolah luar biasa, panti sosial bina netra, perpustakaan daerah, dan beberapa perorangan,” kata Dani.
Lewat buku braille, penyandang netra memiliki kesempatan untuk belajar dan memperoleh informasi secara mandiri. ”Penyandang netra bisa mengetahui lebih jauh siapa pahlawan-pahlawan Indonesia dan belajar geografi Indonesia lewat peta taktual yang kami rancang khusus untuk penyandang netra. Sebab, selama ini, penyandang netra hanya belajar dari cerita-cerita tanpa mampu membaca sendiri cerita tersebut,” kata Dani. (DIONISIO DAMARA)