Bebas Sampah, Kualitas Hidup Bertambah
Berkeliling Kota Surabaya, Jawa Timur, kini kian nyaman. Selain makin teduh karena rindangnya pepohonan, kota tersebut bersih dan hampir sulit dijumpai sampah berserakan di jalanan. Kondisi ini tak lepas dari partisipasi warga dalam menjaga kebersihan kotanya dari sampah.
Segenap elemen masyarakat, mulai dari rumah tangga, sekolah, hingga instansi pemerintah dan swasta menerapkan program 3R atau reuse, reduce, dan recycle dalam mengelola sampah. Capaian itu membuat Surabaya kini bersanding menjadi finalis Guangzhou International Award, penghargaan untuk kota yang mampu meningkatkan kualitas hidup warganya.
Yanto (51) mengayuh sepeda sambil menenteng tas berisikan sampah plastik. Pria asal Gubeng, Surabaya, itu hendak menjual sampah yang dikumpulkannya ke Bank Sampah Induk Surabaya, Sabtu (1/12/2018). ”Hari ini dapat Rp 20.000, lumayan,” katanya.
Sampah-sampah yang dibawa Yanto terdiri dari botol plastik, kantong plastik, dan botol kaca. Dia secara rutin menjual sampah yang dihasilkan dari konsumsi di rumahnya. Setiap ada sampah, dia dan keluarganya selalu memilahnya terlebih dahulu agar bisa dijual dan mendapatkan nilai tambah.
Yanto adalah satu dari sekitar 15.719 nasabah bank sampah di Surabaya. Ada 296 bank sampah yang tersebar di kota seluas 350 kilometer persegi ini. Setiap bulan, ada 29 ton sampah terkumpul dan yang didaur ulang menjadi barang bernilai. Transaksi penjualan sampah mencapai lebih dari Rp 150 juta per bulan.
Kegi Febriati, warga Kampung Genteng Candirejo, Kecamatan Genteng, Surabaya, mengatakan, warga di daerahnya mulai aktif mengelola sampah sejak tahun 2007. Kesadaran itu muncul karena mereka pernah dihantui lingkungan yang kotor dan bau tak sedap dari tumpukan sampah warga dan pasar yang ada di dekat kampung tersebut.
Warga yang tak tahan dengan kondisi itu berinisiatif mengelola sampah yang ada. Dimulai dari sampah rumah tangga, setiap keluarga sepakat memilah sampah. Setiap rumah wajib memiliki dua tempat sampah untuk memilah sampah kering berupa botol plastik, satunya untuk sampah kertas. Sementara sampah basah dibuang ke tempat sampah yang ada di kampung itu.
Setiap bulan, sampah plastik dan kertas yang terkumpul dijual ke bank sampah yang dikelola pengurus Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan karang taruna setempat. Sebanyak 110 nasabah rutin menyetorkan sampah dengan penghasilan tambahan dari menjual sampah mencapai Rp 50.000 per bulan.
Jemput bola
Menurut Ketua Bank Induk Sampah Surabaya Muhammad Amirul Rosyidin (27), pihaknya menjemput bola mengambil sampah-sampah di bank sampah unit yang tersebar di seluruh wilayah di Surabaya. Selain bank sampah di tingkat kampung, mereka juga mengambil sampah yang dikumpulkan oleh sekolah-sekolah, pondok pesantren, kampus, dan instansi perusahaan.
Setiap nasabah bisa mencairkan uang secara langsung atau menabung uangnya yang diperoleh dari penjualan sampah di bank sampah. Uang tabungan biasanya diambil menjelang Lebaran. Rata-rata, tiap nasabah mampu mendapatkan uang Rp 500.000 setahun. Sampah-sampah yang terkumpul dijual ke perusahaan dan perajin yang mendaur ulang sampah menjadi barang kerajinan.
”Warga sepakat, semua penghasilan yang diperoleh dari penjualan akan dikumpulkan untuk modal piknik bersama,” kata Aries Winarni (56), warga Kampung Karang Gayam, Kelurahan Tambaksari, Kecamatan Pacarkeling.
Warga sepakat, semua penghasilan yang diperoleh dari penjualan akan dikumpulkan untuk modal piknik bersama.
Lain halnya dengan Mayasari (29), warga Bendul Merisi, Kecamatan Wonocolo, yang memilih memanfaatkan sampah botol air mineral untuk pembayaran Bus Suroboyo. Setiap dua kali dalam sepekan, ia meninggalkan kendaraan pribadi dan beralih menggunakan Bus Suroboyo untuk berangkat ke tempat kerja yang ada di Jalan Tunjungan.
Bus Suroboyo adalah salah satu moda transportasi di Surabaya yang hanya menggunakan pembayaran berupa sampah plastik. Untuk sekali perjalanan, penumpang harus membayar berupa 10 gelas air kemasan, atau 5 botol air mineral ukuran 600 mililiter, atau 3 botol air mineral ukuran 1,5 liter.
Menurut dia, sampah botol plastik memiliki nilai lebih tinggi jika digunakan untuk ongkos bus daripada dijual kepada pengepul sampah sebab untuk satu karung botol plastik yang berisi lebih dari 100 botol hanya dihargai Rp 2.000. Nilai itu jauh lebih rendah dibandingkan harga tiket bus Damri rute sama dengan Bus Suroboyo sebesar Rp 6.000 tiap perjalanan.
”Setiap hari saya selalu mendapat sampah botol plastik dari anak-anak yang indekos di rumah saya. Daripada dibuang, lebih baik disimpan untuk naik bus,” ungkap Mayasari.
Berjenjang
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan, pengelolaan sampah di kota itu dilakukan secara berjenjang agar bisa mengurangi volume sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir di Benowo. Selain pengolahan sampah di tingkat rumah tangga, sampah yang sudah dibuang ke tempat pembuangan sampah kembali dipilah untuk mengambil sampah yang bisa dimanfaatkan.
Untuk itu, Pemkot Surabaya membangun dua pusat daur ulang (PDU) sampah yang berada di Jambangan dan Sutorejo. Di tempat itu, sampah yang tidak bisa dikelola atau terlewat di tingkat rumah tangga akan dipilah lagi.
Dari setiap PDU, setidaknya 50 persen sampah yang masuk masih bisa diolah dan didaur ulang. Semakin banyak sampah yang bisa dikelola, semakin sedikit pula sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir. Langkah ini juga bisa mengurangi biaya operasional pengangkutan sampah. ”Ada pula 28 rumah kompos yang menyuplai pupuk untuk 420 taman di Surabaya. Jika menggunakan pupuk kimia bisa merusak tanah,” kata Risma.
Tak hanya itu, sampah yang terbuang di TPA Benowo masih dikelola menjadi energi listrik. Di tempat itu, pembangkit listrik tenaga sampah dengan kapasitas 2 megawatt (MW) telah dibangun. Selain di Benowo, ada sejumlah taman yang memanfaatkan sampah menjadi tenaga listrik untuk sumber energi lampu di taman.
Risma mengklaim upaya pengelolaan sampah dari hulu hingga hilir mampu mengurangi volume sampah yang dibuang ke TPA Benowo. Padahal, jumlah sampah diperkirakan bertambah seiring meningkatnya penduduk di kota ini.
Volume sampah yang dibuang ke TPA Benowo pada tahun 2014 sebanyak 1.441,62 ton. Volumenya terus berkurang menjadi 1.439,43 ton pada 2015, lalu 1.433 ton (2016), dan 1.417,6 ton (2017). Adapun jumlah penduduk selalu bertambah, yakni 3 juta jiwa pada 2014 dan naik menjadi 3,21 juta jiwa pada 2015, lalu kembali bertambah menjadi 3,30 juta jiwa (2016) dan 3,34 juta jiwa (2017).
Pengurangan volume sampah itu terus dilakukan karena tumpukan sampah mengeluarkan gas metana (CH4) yang turut membentuk gas rumah kaca. Sampah terbuka itu mengakibatkan timbunan sampah organik terdekomposisi secara anaerobik dan menghasilkan gas metana. Gas metana berkekuatan merusak lapisan ozon hingga 20 kali lebih besar daripada karbon dioksida (CO2). Adapun sekitar satu ton sampah padat biasanya menghasilkan 50 kg gas metana.
Partisipasi warga
Risma mengatakan, keberhasilan Surabaya dalam mengurangi volume sampah disebabkan partisipasi masyarakat tinggi. Hampir semua warga Surabaya sadar dan aktif menjaga lingkungannya bersih dari sampah. Pemkot juga mengadakan lomba Merdeka dari Sampah untuk mendorong kampung-kampung berbenah dalam mengelola sampah.
Dia mengatakan, pengelolaan sampah harus menempatkan warga sebagai ujung tombak sebab masalah ini perlu diselesaikan sejak tingkat hulu atau sampah rumah tangga. Semakin banyak sampah yang bisa dikelola rumah tangga, volume sampah yang dibuang akan kian berkurang. ”Mutu hidup masyarakat turut bertambah saat tak ada sampah mengganggu aktivitas warga,” katanya.
Di Surabaya, sampah bisa menjadi barang yang bernilai karena bisa dijual, menjadi alat pembayaran Bus Suroboyo, bahan kerajinan, serta sumber energi. Ekosistem pengelolaan sampah sudah terbentuk sehingga kebiasaan untuk mengelola dan menjaga lingkungan bersih dari sampah telah menjadi budaya di masyarakat.
Atas capaian ini, Surabaya berhasil menyejajarkan diri dengan kota-kota besar di dunia. Surabaya menjadi salah satu dari 15 finalis Guangzhou International Award, yakni penghargaan untuk kota yang mampu meningkatkan kualitas hidup warganya. Surabaya menanti dukungan masyarakat Indonesia dengan cara memberikan suara di laman Guangzhou Award agar kian mengukuhkan diri sebagai kota yang bebas sampah dan nyaman dihuni.