Independensi Pers di Pemilu, “PR” Dewan Pers Baru
Anggota Dewan Pers periode 2019-2022 mulai bertugas April 2019, persis saat berlangsungnya pemilihan umum legislatif dan presiden.
JAKARTA, KOMPAS— Badan Pekerja Pemilihan Anggota Dewan Pers telah memilih sembilan nama anggota Dewan Pers periode 2019-2022. Begitu dilantik tahun depan, mereka menghadapi persoalan baru di depan mata, yaitu independensi pers.
Sesuai dengan Surat Keputusan Presiden RI No. 14 Tahun 2016 tentang Keanggotaan Dewan Pers 2016-2019, masa tugas anggota Dewan Pers 2016-2019 berakhir bulan Maret 2019 mendatang. Dengan demikian, maka anggota Dewan Pers baru periode 2019-2022 praktis akan mulai bertugas April 2019, persis saat berlangsungnya pemilihan umum legislatif dan presiden.
“Munculnya media-media partisan yang berafiliasi ke partai-partai politik menjadi tantangan berat bagi anggota Dewan Pers mendatang. Dewan Pers mesti tegas mengingatkan para pemilik media agar media-media mereka tetap independen dan memegang teguh kode etik jurnalistik,” kata Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo atau Stanley, Minggu (2/12/2018) di Jakarta.
Tata media dan kawal MoU
Stanley menambahkan, persoalan berikutnya yang juga dihadapi anggota Dewan Pers baru adalah penataan kembali pers dari praktik abal-abal jurnalisme. Persoalan ini dirasa mendesak karena Dewan Pers menerima banyak pengaduan munculnya media-media yang memeras dan menyerang tanpa mengindahkan sama sekali kode etik jurnalistik.
“Keberadaan media-media buzzer (agen media sosial dengan pengikut banyak untuk tujuan-tujuan tertentu) juga sangat mencemaskan. Dewan Pers mesti berkoordinasi dengan Dirjen Aptika (Direktorat Jenderal Aplikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika) serta Polri untuk menangani hal ini,” tambahnya.
Perkembangan berita-berita hoax yang penuh dengan kebohongan tak lepas dari kurangnya profesionalisme media. Sekarang, banyak media online yang menggunakan sumber-sumber media sosial tanpa melakukan klarifikasi dan konfirmasi. Akibatnya, berita bohong tersebar semakin massif.
Dalam beberapa tahun terkhir, Dewan Pers telah melakukan verifikasi perusahaan pers sebagai kelanjutan dari Piagam Palembang. Namun, langkah ini terlampau berat untuk dituntaskan karena dari perkiraan jumlah media di Indonesia sekitar 47.000 media, baru 2.400 di antaranya yang bisa diverifikasi.
Seiring perkembangan media yang semakin menjurus ke konvergensi, maka penyusunan ulang pedoman untuk melengkapi kode etik jurnalistik semakin diperlukan. Di tengah era turbulensi dan alih teknologi, Dewan Pers juga menghadapi tugas berat agar media-media tetap menjadi panutan masyrakat untuk memperoleh informasi terpercaya. Jangan sampai, di perubahan era teknologi ini, media justru semakin kehilangan pembaca dan mati suri.
Stanley mengingatkan, anggota Dewan Pers baru juga memiliki pekerjaan mengawal nota kesepahaman (Memory of Understanding) dengan Polri dan TNI terkait penyelesaian kasus sengketa jurnalistik. “MoU berlaku sampai tiga tahun ke depan. Tapi, pelaksanaannya harus tetapi dikawal karena pejabat Polri dan TNI terus diganti,” kata dia.
Salah satu ancaman serius yang kini rawan menjerat jurnalis adalah keberadaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Catatan SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) dari 2008 hingga 31 Oktober 2018 ada 381 korban (termasuk beberapa di antaranya jurnalis) yang dijerat UU ITE khususnya pasal 27 ayat (3) dan pasal 28 ayat (2).
Dengan menggunakan UU ITE, beberapa pihak yang merasa dirugikan dalam pemberitaan justru melaporkan jurnalis yang membuat berita ke Kepolisian. Padahal, sesuai UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, maka sengketa pemberitaan yang tidak selesai dengan mekanisme hak jawab semestinya diselesaikan melalui proses mediasi di Dewan Pers.
“Siapapun yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers semestinya mengadukan masalahnya kepada Dewan Pers, bukan ke Polisi,” kata Koordinator Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen, Sasmito Madrim.
Pegang komitmen
Kesembilan anggota Dewan Pers yang telah dipilih Badan Pekerja Pemilihan Anggota (BPPA) Dewan Pers adalah Arif Zulkifli, Hendry Ch Bangun, dan Jamalul Insan mewakili unsur wartawan; Ahmad Djauhar, Agung Darmajaya, dan Asep Setiawan mewakili unsur perusahaan pers; serta Agus Sudibyo, Hassanein Rais, dan Mohammad Nuh mewakili unsur tokoh masyarakat.
Kesembilan anggota Dewan Pers terpilih itu telah menandatangani fakta integritas bahwa mereka berkomitmen untuk menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab demi menjaga wibawa lembaga Dewan Pers, menegakkan kemerdekaan pers, meningkatkan profesionalisme media massa, serta mengupayakan pemenuhan hak publik atas informasi. Menurut Ketua BPPA Dewan Pers, Margiono, anggota Dewan Pers terpilih menghadapi tantangan yang tidak ringan. Karena itu, mereka meneken fakta integritas sebagai komitmen tertulis.
“Konsekuensinya serius, mereka harus mundur apabila melanggar komitmen tersebut,” ujarnya.
Setelah memilih sembilan anggota Dewan Pers baru periode 2019-2022, BPPA menyampaikan hasil pemilihan ke pleno Dewan Pers. Setelah dibahas dalam rapat pleno dan disahkan, maka nama-nama tersebut akan diserahkan ke Presiden untuk diterbitkan Surat Keputusan Presiden.