Inflasi Akhir Tahun DKI Diprediksi Terus Meningkat
JAKARTA, KOMPAS — Selama November 2018, angka inflasi di Ibu Kota mencapai 0,30 persen atau sedikit lebih tinggi daripada inflasi nasional yang hanya 0,27 persen. Namun, angka inflasi di Jakarta masih lebih rendah jika dibandingkan dengan Tangerang dan Bogor yang mencapai 0,39 persen.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Thoman Pardosi, Senin (3/12/2018), mengatakan, peningkatan indeks harga konsumen pada bulan November dipicu oleh kenaikan harga pengeluaran kesehatan, bahan makanan, dan sandang.
Pada kelompok pengeluaran kesehatan, inflasi disebabkan karena naiknya harga barang-barang perawatan jasmani dan kesehatan, seperti sabun mandi, parfum, dan pasta gigi. Selain itu, juga ada kenaikan harga pada kelompok obat-obatan, seperti obat luka, obat flu, dan obat sakit perut. Namun, untuk jasa kesehatan dan jasa perawatan jasmani, hingga November ini, belum mengalami kenaikan harga.
”Penyebab inflasi pada kelompok kesehatan ini cukup tinggi, mencapai 0,84 persen, disusul kelompok bahan makanan yang mencapai 0,62 persen dan kelompok sandang di angka 0,56 persen,” ujar Thoman kepada wartawan, Senin.
Pada kelompok pengeluaran bahan makanan, inflasi terjadi karena meningkatnya harga bumbu-bumbuan, khususnya cabai merah, dan ikan segar ataupun ikan yang diawetkan. Kenaikan harga cabai merah, misalnya, menyumbang sebesar 0,0230 persen terhadap inflasi pada bulan November.
Fenomena ini cukup unik di Jakarta. Sebab, di beberapa provinsi lain, harga cabai merah sebenarnya turun pada bulan November. Namun, di Jakarta, harga cabai ini justru meningkat. Hal itu diduga dipengaruhi oleh faktor pasokan dan permintaan yang tidak seimbang.
Bersdasarkan pemantauan Kompas di Pasar Senen, Jakarta Pusat, harga cabai merah turun dari semula Rp 30.000 per kilogram menjadi Rp 20.000-Rp 25.000 per kilogram. Dedi (50), pedagang cabai di Pasar Senen, mengatakan, pada bulan lalu, pasokan cabai dari Jawa Timur menurun karena pengaruh cuaca pada musim hujan. Banyak petani mengeluh cabai mudah membusuk saat dipanen.
Pasokan cabai ke Jakarta pun menurun sehingga berpengaruh terhadap harga komoditas itu. Namun, sekitar sepekan terakhir, pasokan cabai kembali membaik sehingga harganya turun menjadi Rp 20.000-Rp 24.000 per kilogram.
”Saya mengambil pasokan cabai dari Pasar Induk Kramatjati. Nah, pedagang saya itu ambilnya dari daerah Jawa Timur, seperti Blitar dan Banyuwangi. Kemarin, pasokan cabai sempat turun karena hasil panen jelek dan hambatan saat barang dibawa ke Jakarta,” kata Dedi.
Dalam sehari, Dedi bisa menjual 4-5 kuintal cabai berbagai jenis, seperti rawit merah, cabai merah, cabai hijau, dan rawit hijau. Dedi mengaku mendapat keuntungan Rp 1.000 dari setiap kilogram cabai yang ia jual.
Harga sembilan bahan kebutuhan pokok (sembako), seperti beras, minyak goreng, gula, dan tepung terigu, di Pasar Senen masih terpantau stabil. Kenaikan harga terpantau pada komoditas telur ayam ras yang naik dari harga Rp 24.000 per kilogram menjadi Rp 27.000 per kilogram.
Yanto (60), pedagang sembako di Pasar Senen, mengatakan, kenaikan harga telur ayam ras kemungkinan dipengaruhi meningkatnya permintaan menjelang hari raya Natal dan Tahun Baru. Kenaikan harga telur baru terpantau sekitar sepekan terakhir.
”Yang lainnya, harga masih stabil,” kata Yanto.
Sementara itu, BPS DKI Jakarta juga menemukan ada peningkatan harga pada kelompok pengeluaran sandang. Hal itu dipengaruhi oleh kenaikan harga payung, tas, dan emas perhiasan. Namun, Thoman menambahkan, komoditas yang memberikan andil terbesar terhadap inflasi Jakarta pada November 2018 adalah bensin (0,0267 persen), sewa rumah (0,0232 persen), dan cabai merah.
”Itu karena bensin dan sewa rumah memiliki peranan nilai konsumsi yang cukup tinggi sehingga kenaikan harga sedikit saja berpengaruh besar terhadap angka inflasi,” kata Thoman.
Diprediksi meningkat
Direktur Bank Indonesia Provinsi DKI Jakarta Trisno Nugroho menambahkan, mendekati akhir tahun, inflasi di Ibu Kota cenderung mengalami kenaikan.
Inflasi pada November naik sebesar 0,15 persen jika dibandingkan pada bulan yang sama tiga tahun sebelumnya (month to month). Laju inflasi di Jakarta juga tercatat sebesar 2,66 persen (year to date) atau 3,33 persen (year on year). Inflasi terutama disebabkan kenaikan harga bahan makanan.
Kelompok bahan makanan mengalami inflasi sebesar 0,62% (month to month) dan berkontribusi sebesar 0,11% terhadap inflasi November 2018. Kenaikan harga kelompok bahan makanan terutama disebabkan meningkatnya harga cabai merah dan beras seiring dengan berkurangnya pasokan yang masuk ke DKI Jakarta dari sejumlah daerah sentra. Selain itu, masuknya musim hujan turut menyebabkan turunnya produktivitas ayam petelur sehingga pasokan berkurang dan menyebabkan harga telur ayam ras juga meningkat.
Inflasi di Jakarta juga disumbangkan oleh kenaikan harga bensin nonsubsidi dan tarif angkutan udara. Kenaikan harga bensin nonsubsidi, seperti Pertamax dan Pertamina Dex, pada Oktober 2018 masih memberikan dampak lanjutan terhadap kenaikan kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan pada November 2018. Selain harga BBM nonsubsidi, kenaikan harga tarif angkutan udara juga turut memiliki andil dalam mendorong inflasi kelompok ini.
Menjelang akhir tahun, kegiatan ekonomi terutama korporasi cenderung tinggi, yang juga diikuti aktivitas perjalanan ke luar kota. Aktivitas tersebut terutama terjadi pada bulan November, dan diperkirakan mereda ketika memasuki minggu ketiga Desember. Permintaan akan jasa transportasi diperkirakan tetap tinggi pada bulan Desember, tetapi akan lebih didominasi untuk kegiatan berlibur dalam rangka menyambut Natal dan Tahun Baru.
”Memperhatikan pola perkembangan harga-harga di Jakarta hingga akhir November 2018, inflasi pada Desember 2018 mendatang diperkirakan meningkat sesuai dengan polanya. Masuknya hari Natal serta Tahun Baru 2019 menjadi faktor pendorong meningkatnya permintaan barang dan jasa secara umum. Gejolak harga yang perlu diperhatikan adalah tekanan harga transportasi dan harga bahan makanan,” tutur Trisno.