PALANGKARAYA, KOMPAS — Kalimantan Tengah kekurangan guru SMA, SMK, dan SLB sebanyak 3.611 guru. Sementara guru honorer untuk SMA sederajat hanya sekitar 2.800 guru sehingga masih membutuhkan 811 guru dengan berbagai mata pelajaran. Kebutuhan itu masih di luar dari pensiun massal tahun ajaran 2019-2020.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalteng Slamet Winaryo menjelaskan, guru tidak tetap atau guru honorer merupakan solusi sementara untuk mengisi kekosongan. Namun, hal itu juga belum menjawab kebutuhan tenaga kependidikan.
”Sedikit banyak jumlah guru memengaruhi kualitas atau mutu pendidikan. Kami sudah sampaikan ini ke pusat karena setiap tahun penerimaan guru di Kalteng itu hanya sedikit,” ujar Slamet di Palangkaraya, Senin (3/12/2018).
Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalteng, kebutuhan guru PNS untuk SMA, SMK, dan SLB mencapai 7.954 orang, sedangkan guru PNS yang tersedia hanya 4.343 orang. Dengan demikian, kekurangan guru mencapai 3.611 orang untuk 479 sekolah kategori SMA, SMK, dan SLB.
Untuk mengatasi kekurangan tersebut, pemerintah menerima 2.800 guru tidak tetap atau guru honorer sehingga menyisakan kekurangan 811 guru dengan berbagai macam latar belakang mata pelajaran.
”Untuk SD dan SMP kami belum hitung. Namun, yang jelas kekurangannya makin besar kalau ditambah itu,” kata Slamet.
Slamet menjelaskan, guru honorer atau guru tidak tetap di Kalteng diberikan insentif sebesar Rp 600.000 hingga Rp 1,5 juta per bulan untuk menunjang kinerja. Selain itu, pihaknya juga menggelar beberapa kegiatan untuk meningkatkan kompetensi dasar guru.
”Banyak pendidikan atau kegiatan untuk meningkatkan mutu pendidik yang masih belum bisa diikuti semua guru. Karena itu, kami jalankan terus program seperti MGMP dan sebagainya,” kata Slamet.
Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih mengungkapkan, persoalan di Kalteng juga terjadi di hampir setiap daerah di Indonesia. Tak hanya soal kualitas dan kuantitas, tetapi juga soal fasilitas pendidikan.
”Jadi akan kami sampaikan juga bahwa butuh koordinasi antarlembaga dan kementerian. Seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi soal pengangkatan atau penerimaan guru,” ujar Fikri.
Fikri menjelaskan, untuk guru dan tenaga kependidikan, pemerintah sudah mengucurkan dana lebih dari Rp 10 triliun, tetapi belum bisa menyelesaikan masalah mutu pendidik atau guru. Hal itu membuat butuh kebijakan dan implementasi kebijakan yang baik dan terukur untuk meningkatkan mutu guru.
”Untuk mengawasinya, kami sudah membentuk panitia kerja khusus guru dan tenaga kependidikan karena kami melihat masih banyak tenaga guru yang belum mumpuni untuk turun langsung mengajar,” ujar Fikri.