Mendulang Suara Tanpa Agenda Politik
Upaya elite partai politik dan caleg mendekati pemilih melalui kegiatan kemasyarakatan lebih efektif meraih simpati ketimbang pengerahan massa atau rapat tertutup. Publik jadi lebih sadar politik untuk menentukan pilihan.
Teknik partai politik mendekati publik melalui kegiatan kemasyarakatan ternyata lebih efektif membangun kepercayaan ketimbang lewat aktivitas politik. Sayang, upaya berbaur langsung dalam kegiatan rutin masyarakat masih jarang dilakukan sehingga animo terhadap parpol tetap rendah.
Rendahnya animo terhadap parpol dipicu kekecewaan masyarakat terhadap perilaku elite politik, yang sering melupakan janji-janji yang mereka umbar ketika kampanye pemilu. Fenomena ini menunjukkan tingginya keengganan masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan kampanye, yang membawa pesan-pesan politik parpol melalui juru kampanye, tim sukses, pengurus, simpatisan, atau calon anggota legislatif (caleg).
Alih-alih berpartisipasi dalam kampanye, mengetahui nomor urut parpol peserta Pemilu 2019 yang akan dipilih saja masyarakat enggan. Apatisme politik ini terungkap dalam jajak pendapat Kompas pekan lalu yang secara khusus menyoroti upaya parpol menggalang dukungan massa. Hasilnya, lebih dari separuh responden menjawab belum mengetahui nomor urut parpol yang akan mereka pilih dalam pemilu nanti.
Perspektif responden jelas bertolak belakang dengan harapan parpol yang ingin masyarakat sudah mengetahui informasi tentang partai dan caleg yang mereka usung. Pengetahuan inilah yang akan menjadi pijakan parpol untuk menciptakan strategi kampanye yang efektif dalam mendulang suara dari masyarakat. Padahal, masyarakat sendiri sudah enggan terlibat kampanye politik yang belakangan ini lebih rentan memecah belah kesatuan bangsa.
Jajak pendapat kali ini mengungkapkan, teknik pendekatan lunak oleh parpol untuk menggalang pemilih cukup membetot perhatian publik. Pertemuan langsung antara kader parpol dan warga melalui kegiatan masyarakat, seperti pengajian, kerja bakti, hajatan, dan kegiatan seni-budaya, dinilai lebih efektif menciptakan keakraban ketimbang pengerahan massa atau pertemuan tertutup.
Pendekatan secara kultural inilah yang cukup menarik perhatian responden. Pemasangan alat peraga kampanye (spanduk, baliho, stiker, bendera) menjadi salah satu kegiatan yang banyak menarik perhatian responden. Pemasangan alat peraga kampanye menjadi contoh keakraban masyarakat dalam menghadapi perbedaan pilihan politik. Sebaliknya, pendekatan dengan cara-cara politik seperti kampanye negatif dan kampanye hitam terhadap lawan politik sudah tidak disukai dan ditinggalkan warga.
Sejumlah responden jajak pendapat kali ini mengungkapkan, kader parpol dan caleg sudah mulai mengunjungi warga di tempat tinggal mereka dalam rangka memperkenalkan diri sebagai caleg sekaligus mengampanyekan parpol dan pasangan calon presiden yang diusung. Para caleg bergabung dengan masyarakat melalui kegiatan-kegiatan warga, seperti pertemuan warga, pemasangan baliho atau spanduk, pembagian stiker, pembagian bahan pokok, pengajian, dan blusukan ke pasar tradisional.
Kontribusi nyata
Kegiatan yang melibatkan secara langsung antara caleg dan warga ini dinilai efektif untuk menggalang dukungan. Setidaknya 50,9 persen responden yakin cara-cara populis mampu menggerakkan dukungan secara langsung dari masyarakat. Pendekatan populis bisa membentuk citra positif caleg dalam benak masyarakat sehingga menggerakkan mereka mendukung caleg.
Meski belum banyak caleg yang melakukan pendekatan populis dalam rangka menggaet dukungan masyarakat, penilaian responden terkait metode pendekatan ”nonpolitis” ini cenderung positif. Sebanyak 32,3 persen responden menyatakan kegiatan tersebut merupakan aktivitas yang berdampak baik bagi masyarakat, sedangkan 32,1 persen menyatakan hanya pencitraan partai. Sebagian lain (31,9 persen) menyatakan kegiatan tersebut biasa saja, dengan kata lain tidak membawa pengaruh apa pun bagi warga.
Keterlibatan caleg bersama warga dalam kegiatan kemasyarakatan dinilai sebagai wujud nyata kehadiran parpol di tengah masyarakat. Pembahasan agenda politik berbasis persoalan yang diserap secara langsung dari warga merupakan upaya partai untuk menginternalisasi aspirasi masyarakat ke dalam ideologi, visi-misi, program, dan perjuangan politik melalui lembaga negara, terutama parlemen.
Teknik pendekatan ini dirasakan warga sebagai kontribusi nyata partai dalam mewujudkan visi-misi melalui perjuangan para caleg yang mencalonkan diri. Dua dari tiga responden justru mengapresiasi langkah-langkah pendekatan berbasis kegiatan warga yang dilakukan oleh caleg selama ini. Mereka setuju bahwa dengan melibatkan diri ke dalam kegiatan kemasyarakatan, para caleg telah memberikan kontribusi nyata kepada masyarakat.
Kontribusi ini merupakan upaya yang relevan bagi parpol untuk mendengarkan dan merasakan secara langsung problematika masyarakat yang hendak diwakili. Aspirasi ini merupakan amunisi bagi pengurus parpol dan caleg untuk merumuskan program dan strategi yang jitu sebagai aksi politik ketika terpilih menjadi wakil rakyat. Di sinilah letak relevansi apresiasi responden dengan inisiatif caleg untuk menyerap aspirasi masyarakat secara langsung.
Sayang, bentuk-bentuk pendekatan seperti ini kurang populer ketimbang kampanye yang langsung mempromosikan program-program politik para caleg. Selain mempromosikan program pribadi, caleg juga diberi tugas mempromosikan agenda partai politik pengusung mereka, termasuk mengampanyekan calon presiden-calon wakil presiden yang diusung. Kondisi ini lalu membuat para caleg menggunakan metode kampanye yang paling ekonomis.
Minim substansi
Hal ini bisa dilihat dari substansi kegiatan yang lebih memprioritaskan agenda pribadi caleg yang berorientasi memenangi pemilu. Menggali aspirasi masyarakat sebagai substansi dari kampanye menjadi samar di balik kegiatan-kegiatan simbolis seperti pembagian kebutuhan pokok atau pengobatan gratis. Semua kegiatan yang potensial dalam konsentrasi massa dimanfaatkan sebagai ajang mempromosikan ”kebaikan” caleg.
Pendekatan kepada warga dengan orientasi penggalangan dukungan secara instan ini yang dikritisi publik. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dianggap kurang mengakar ke masyarakat karena tidak ada kedekatan yang riil antara caleg dan warga. Fenomena ini juga terungkap dalam jajak pendapat.
Mayoritas responden (75,7 persen) mengaku tidak pernah mengikuti secara langsung kegiatan yang diadakan parpol di wilayahnya. Bagi mereka, kegiatan parpol masih sekadar ”desain” dan ”bungkus” saja, tetapi belum menyentuh isi dan akar persoalan mendasar masyarakat.
Bahkan, 61,8 persen responden justru merasa kehadiran caleg di lingkungan tempat tinggalnya masih minim. Mereka mengungkapkan belum pernah ada kegiatan caleg yang memperkenalkan diri sebagai peserta pemilu mendatang di wilayah mereka. Padahal, kegiatan kampanye calon anggota DPR, DPD, dan DPRD serta capres-cawapres berlangsung sejak 23 September 2018 dan akan berakhir 13 April 2019.
Artinya, selama masa kampanye yang sudah berjalan dua bulan lebih, masih banyak caleg yang belum menyapa warga di daerah pemilihan masing-masing. Sikap acuh para caleg membuat konstituen di daerah memilih sikap yang sama. Sikap apatis, acuh tak acuh, membuat mereka tidak peduli dengan sepak terjang parpol menjelang pemilu. Apatisme publik terhadap parpol juga dipicu oleh kekecewaan warga terhadap elite partai yang dinilai suka mengingkari janji mereka ketika kampanye.
Menurut responden, orientasi untuk memenangi pemilu, baik legislatif maupun presiden, menjadi agenda besar semua partai politik sekarang. Responden sadar bahwa para caleg yang mendekati mereka harus menyelaraskan perjuangannya dengan agenda tersebut. Para caleg yang menjadi bagian dari partai koalisi harus mengampanyekan capres-cawapres yang didukung kepada konstituen mereka.
Fenomena ini terekam dengan baik dalam benak dan memori responden sehingga mereka bisa mengukur keseriusan parpol menyukseskan kemenangan pilpres. Hampir sepertiga bagian (27 persen) responden menilai parpol telah mewajibkan semua pengurus dan caleg anggota koalisi mengampanyekan capres-cawapres yang diusung. Sekitar 21 persen responden menilai kampanye capres-cawapres cukup dilakukan oleh tim kampanye saja. Sementara 13,5 persen lainnya menilai dukungan untuk capres-cawapres hanya dilakukan pengurus dan caleg parpol utama saja atau partai induk tempat capres bernaung.
Masih ada waktu 4,5 bulan lagi bagi parpol mematangkan strategi guna mendapatkan tempat di hati masyarakat yang akan memilihnya pada Pemilu 2019. Pendekatan sosial bisa menjadi magnet untuk mendulang suara tanpa harus menghadirkan agenda politik secara vulgar.