JAKARTA, KOMPAS — Disrupsi digital menimbulkan banjir informasi kepada publik, khususnya informasi palsu dan tidak terverifikasi. Banjir informasi ini membuat setiap orang, termasuk pejabat publik dan tokoh masyarakat, turut serta menyebarluaskan informasi palsu dan tidak terverifikasi.
Komisi Informasi Pusat (KIP) merupakan lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan peraturan pelaksanaannya serta menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi serta ajudikasi nonlitigasi.
Ketua KIP Gede Narayana Sunarkha mengatakan, era digital menimbulkan banjir informasi palsu dan tidak terverifikasi. Masyarakat dengan mudah mengakses informasi tersebut melalui sosial media, bahkan menyebarluaskannya dengan cepat.
”Banjir informasi palsu dan tidak terverifikasi sangat berbahaya dan menimbulkan kecemasan hingga perpecahan di masyarakat. Padahal, keterbukaan informasi publik mewajibkan setiap informasi harus akurat, benar, dan tidak menyesatkan,” ucap Gede, di Jakarta, Senin (3/12/2018), dalam diskusi dengan media massa.
Gede menjelaskan, informasi palsu dan tidak terverifikasi dapat disebarkan oleh semua orang, termasuk pejabat publik, media massa, dan individu-individu di dalam masyarakat. Informasi palsu dan tidak terverifikasi yang dimaksud adalah informasi tidak berbasis data, tidak akurat, hingga menyesatkan.
”Sangat disayangkan ketika ada pejabat publik yang ikut menyebarluaskan bahkan membuat informasi palsu dan tidak terverifikasi. Masyarakat akan percaya begitu saja dan terjerumus dalam kesalahpahaman. KIP bertugas memantau dan mengevaluasi badan publik agar membuka akses informasi kepada publik ataupun memberi informasi yang akurat dan terverifikasi,” tutur Gede.
Sangat disayangkan ketika ada pejabat publik yang ikut menyebarluaskan bahkan membuat informasi palsu dan tidak terverifikasi. Masyarakat akan percaya begitu saja dan terjerumus dalam kesalahpahaman.
Ia menyebutkan, KIP belum diketahui secara luas oleh masyarakat. Pihaknya menggandeng media massa untuk melawan informasi palsu dan tidak terverifikasi agar KIP dapat dikenal secara luas, baik tujuan lembaga maupun fungsinya.
Dorong keterbukaan
KIP bersama media massa berupaya melawan banjir informasi palsu dan tidak terverifikasi dengan menghadirkan informasi yang akurat dan terverifikasi. Media massa memerlukan keterbukaan informasi publik guna menghadirkan informasi yang akurat dan terverifikasi.
Komisioner Advokasi, Sosialisasi, dan Edukasi KIP, Waffa Patria Umma, menyatakan, KIP terus berupaya mendorong badan publik dari pusat hingga daerah untuk memberikan akses informasi bagi publik. Akses informasi bagi publik sangat penting dalam melawan disrupsi informasi.
”KIP terus mendorong badan publik, khususnya di daerah, membuka informasi kepada publik untuk transparansi dan akuntabilitas. Informasi yang dibuka juga telah diatur dalam undang-undang,” ucap Waffa.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik telah mengatur ada informasi yang wajib disediakan dan diumumkan kepada publik serta informasi yang dikecualikan. Informasi yang dikecualikan ini terbatas untuk kepentingan negara karena bersifat rahasia.
Praktisi media massa Kurniawan Muhammad mengatakan, keterbukaan informasi publik membantu masyarakat ataupun media massa untuk memperoleh kepastian informasi.
”Informasi yang diakses sesuai dengan amanat undang-undang. Media akan sangat terbantu dengan informasi publik dan akan disebarluaskan untuk melawan disrupsi informasi,” lanjut Kurniawan. (FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY)