JAKARTA, KOMPAS – Pemahaman masyarakat terkait penularan HIV/AIDS minim. Akibatnya, stigma dan penolakan terhadap orang dengan HIV/AIDS atau ODHA masih dijumpai. Edukasi dan sosialisasi perlu dilakukan secara masif oleh semua pihak, baik dari lingkungan sosial, pendidikan, maupun kesehatan.
Edukasi mengenai penularan penyakit HIV/AIDS menjadi kunci untuk menghilangkan stigma pada ODHA. Penyakit ini tidak bisa ditularkan hanya karena bersentuhan, gigitan nyamuk, berpelukan, atau pun berenang.
”Infeksi HIV baru bisa terjadi karena adanya hubungan seks, jarum suntik, transfusi darah, atau juga bisa karena kehamilan. Jadi, tidak perlu khawatir jika bersama ODHA. Pemahaman ini yang memang harus terus digencarkan,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Wiendra Waworuntu saat dihubungi di Jakarta, Minggu (2/12/2018).
Ia menyatakan, edukasi dan pemahaman yang kurang di masyarakat menyebabkan ODHA belum bisa diterima di masyarakat secara utuh. Terkadang masih dijumpai diskriminasi pada ODHA.
Baru-baru ini, seorang anak dengan HIV/AIDS ditolak di sekolahnya. Sudah beberapa kali pindah sekolah karena selalu ditolak, bahkan dia diasingkan dalam pergaulan. (Kompas.ID)
Kasus yang sama dialami tiga anak dengan HIV/AIDS di Samosir, Sumatera Utara. Mereka ditolak belajar di sekolah umum di Samosir. Padahal, sebelumnya dua anak dapat belajar di sekolah dasar di Samosir. Bahkan, satu anak sudah lulus dan melanjutkan ke SMP. (Kompas, 24/10/2018)
Kerja sama menyeluruh
Wiendra mengatakan, perlu ada kerja sama yang menyeluruh, mulai dari pemerintah daerah, tenaga kesehatan, dinas pendidikan, hingga dinas sosial untuk mengedukasi masyarakat. ”Semua pihak harus terus-menerus menyadarkan masyarakat. Hal penting lainnya adalah soal pencegahan,” katanya.
Data dari Kementerian Kesehatan untuk estimasi dan proyeksi HIV/AIDS tahun 2017, diperkirakan ada 631.635 ODHA di Indonesia. Sejak pertama kali kasus HIV terdeteksi di Indonesia pada tahun 1987, hingga Juni 2018 sebanyak 433 kabupaten/kota melaporkan 301.956 kasus HIV (47 persen dari estimasi ODHA tahun 2018).
Lima provinsi dengan beban yang HIV paling tinggi adalah DKI Jakarta (55.099), Jawa Timur (43.399), Jawa Barat (31.293), Papua (30.699), dan Jawa Tengah (24.757).
Menurut Wiendra, epidemi HIV di Indonesia ditargetkan bisa dihentikan pada 2030. Untuk itu, kampanye STOP menjadi salah satu unggulan yang terus digalakkan. ”STOP ini berarti suluh atau penyuluhan untuk mencegah penyakit, temukan atau menemukan ODHA sejak dini agar bisa cepat diobati, obati atau memberikan obat yang tepat dan rutin untuk ODHA, serta pertahankan nyawa ODHA dengan tindakan tepat,” tuturnya.
Di Surabaya, dalam peringatan Hari AIDS Se-Dunia yang jatuh pada Sabtu (1/12), Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski) Surabaya Ary Widhyasti Bandem mengatakan, masyarakat perlu terlibat aktif dalam kampanye HIV/AIDS. Hal ini dilakukan baik dalam rangka pencegahan maupun dalam rangka membantu mereka yang sudah terinfeksi HIV/AIDS.