Akibat kurangnya pengembangan karier dan perpindahan jabatan di Papua, NTT, Sultra, Kalteng, Maluku Utara, dan Papua Barat, sistem merit belum siap diterapkan di enam provinsi itu.
DEPOK, KOMPAS - Belum semua provinsi di Indonesia siap menerapkan sistem merit dalam manajemen aparaturnya. Hasil penilaian mandiri oleh Komisi Aparatur Sipil Negara terhadap kesiapan instansi pemerintah daerah di 34 provinsi di Indonesia menyebutkan, enam di antaranya meraih nilai buruk. Dari enam provinsi tersebut, Papua menduduki posisi paling buncit dengan nilai 150, diikuti Nusa Tenggara Timur 161,5, Sulawesi Tenggara 162, Kalimantan Tengah 166, Maluku Utara 167,5, dan Papua Barat 169,5.
Penilaian tersebut terungkap dalam Seminar Nasional ”Penerapan Sistem Merit dalam Manajemen ASN di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Daerah” di Depok, Jawa Barat, Senin (3/12/2018).
Selain Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Sofian Effendi, hadir pula komisioner KASN, Nuraida Mokhsen, serta Sekretaris Deputi Bidang Sumber Daya Manusia Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Herman Suryatman.
Menurut Nuraida, kurangnya pengembangan karier dan perpindahan jabatan yang kurang jelas di enam provinsi tersebut menyebabkan kelancaran sistem merit terhambat.
Sejauh ini, Papua, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Tengah, Maluku Utara, dan Papua Barat mendapat poin terendah 100 hingga 174, yang menandakan buruknya kesiapan provinsi menyambut sistem merit. Semakin tinggi nilai dan kategori yang didapat, provinsi tersebut semakin siap menerapkan sistem merit dengan baik. Dengan angka penilaian rendah, keenam provinsi tersebut berarti masuk kategori I atau ”buruk” dari empat kategori penilaian KASN.
Adapun provinsi dengan nilai 175-249 termasuk kelompok kategori II yang dianggap ”kurang”. Sementara kategori III dengan poin 250-324 adalah provinsi dengan predikat ”baik” dan kategori IV dengan poin 325-400 adalah daerah dengan hasil penilaian tertinggi atau ”baik sekali”. Daerah Istimewa Yogyakarta dengan nilai 319 merupakan provinsi dengan nilai tertinggi, diikuti DKI Jakarta 317,5 dan Jawa Barat 305.
Terkait proses penilaian, Nuraida mengemukakan, evaluasi menggunakan delapan kriteria dan sejumlah subkriteria berdasarkan peranannya dalam sistem merit. Delapan kriteria tersebut antara lain pengadaan pegawai, pengembangan karier dan peningkatan kompetensi, promosi dan mutasi, penggajian dan disiplin, perlindungan dan pelayanan, juga sistem informasi.
Sistem merit adalah program perekrutan dan promosi aparatur sipil negara berdasarkan kemampuan melaksanakan sebuah tugas dan bukan koneksi politik atau nepotisme.
Lembaga khusus
Sofian Effendi menambahkan, praktik pengisian posisi dalam instansi pemerintahan oleh kepala daerah selama ini tidak tepat. Otoritas tersebut seharusnya dimiliki oleh lembaga khusus dan bukan pejabat politik seperti gubernur. Singapura merupakan contoh negara yang memiliki badan sendiri yang bertugas mencari dan mengangkat pejabat pemerintah.
”Pemberlakuan sistem merit diharapkan mampu mengurangi praktik jual-beli jabatan. Pegawai dengan kualifikasi yang tepat dan kinerja memuaskan akan dimasukkan dalam dinas atau instansi yang tepat tanpa memandang koneksi politik yang dimiliki,” ujar Sofian.
Menanggapi hasil penilaian KASN, Herman Suryatman mengatakan, kementerian juga tengah melakukan pemetaan seperti yang dilakukan KASN. Proses ini dilakukan di 140 kabupaten atau kota, 34 provinsi, dan 76 kementerian atau lembaga pemerintahan negara.
Setelah pemetaan yang dilakukan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, kementerian bersama dengan Badan Kepegawaian Negara, Lembaga Administrasi Negara, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan KASN akan menggabungkan hasil penelitian kementerian dengan KASN untuk mendapatkan gambaran pasti terkait kesiapan setiap daerah menerapkan sistem merit.
”Kami akan mengetahui dengan jelas kekurangan setiap daerah untuk menentukan langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kesiapannya,” ujar Herman.
Biaya politik
Lebih jauh Nuraida mengatakan, sebagian besar provinsi memiliki kekurangan pada dua aspek, yakni pengembangan karier dan peningkatan kompetensi serta sistem mutasi dan rotasi yang jelas. Kurangnya sumber daya manusia yang kompeten menyebabkan banyak pegawai tidak sesuai dengan spesialisasinya.
Tidak adanya pengembangan karier yang jelas, tambah Nuraida, disebabkan kurangnya pemetaan posisi yang jelas di setiap bagian. Seharusnya setiap bagian mempunyai jenjang karier yang tergambar secara rinci sejak pangkat terendah ke posisi tertinggi. Tingkatan yang teratur dapat meningkatkan kompetensi dan membentuk spesialisasi.
Selain itu, setiap posisi perlu dilengkapi standar kompetensi jabatan. Selama ini diakui praktik jual-beli jabatan masih terjadi. Kepala daerah masih memiliki wewenang mengangkat seseorang menjadi kepala dinas sebagai ”biaya politik” karena mendukungnya. Untuk itu disarankan setiap provinsi memiliki pusat penilaian aparatur sipil negara agar setiap daerah memiliki daftar pegawai potensial. (Lorenzo Anugrah Mahardhika)