Bagi aktivis perempuan Myanmar, Thinzar Shun Lei Yi (27), masa depan politik Myanmar sudah berubah total. Dulu, ia merupakan pengagum berat Aung San Suu Kyi, tokoh oposisi peraih Nobel Perdamaian 1991. Kini, ia merupakan pengkritik Suu Kyi yang paling keras.
Lei Yi berasal dari organisasi yang kebanyakan anggotanya dulu merupakan pengagum fanatik Suu Kyi. Lei Yi mengaku, harapannya kandas terhadap pemerintahan Myanmar saat ini. Padahal, ketika partai Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), meraih kemenangan mutlak pada pemilu tiga tahun lalu, mereka menaruh harapan besar pada Suu Kyi setelah Suu Kyi masuk ke dalam kekuasaan pada 2016.
Namun, para aktivis kini mengaku sangat kecewa. "Saya kehilangan idola saya. Saya merasa bingung dan frustrasi," kata Lei Yi yang memandu acara bincang-bincang "Di bawah 30" di situs lokal yang popular di Myanmar.
"Sebagian besar aktivis dan generasi muda kini bertanya, "Apa selanjutnya? Apa yang akan terjadi? Apa yang bisa kita lakukan? Di tahap ini Aung San Suu Kyi berjalan dengan caranya sendiri dan tak ada yang bisa mengintervensinya, dan dia tak akan mendengarkan suara ormas sipil," lanjut Lei Yi.
Sejak Suu Kyi menjadi penasihat negara, pemerintahan Myanmar terus mendapat tekanan dari dunia internasional terkait hak asasi manusia, khususnya menyangkut etnis Rohingya. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menyatakan militer Myanmar telah melakukan pembersihan etnis dengan intensi genosida terhadap warga Rohingya.
Meskipun Suu Kyi tidak memiliki kontrol terhadap militer, ia dikecam karena tak pernah sekalipun bersuara mengkritik militer dan membela Rohingya. Saat ini lebih dari 730.000 warga Rohingya mengungsi untuk menyelamatkan diri dari kekejaman militer di Negara Bagian Rakhine, dengan mencari perlindungan di tempat penampungan pengungsi di perbatasan Bangladesh.
Otoriter
Bukan hanya itu, para aktivis pun menilai pemerintahan saat ini semakin otoriter dan gagal memanfaatkan mayoritas mutlak di parlemen untuk menghapus undang-undang di masa kolonial yang menghambat demokrasi. Yang terjadi, pemerintah justru semakin menguatkan cengkeramannya pada kelompok-kelompok sipil.
"Kami dilarang membicarakan isu-isu sensitif, para pengunjuk rasa ditahan dan dipukuli. (Seharusnya) Liga Nasional untuk Demokrasi, partai yang mengusung nama demokrasi, menghormati demokrasi dan HAM," lanjut Lei Yi.
Bulan Mei lalu, kubu pro demokrasi pimpinan Lei Yi ini menggelar unjuk rasa termasuk protes anti perang di Yangon. Aksi ini langsung dibubarkan. Sebanyak 17 orang, termasuk Lei Yi, didakwa melakukan protes ilegal. Pengadilan terkait kasus ini masih berjalan.
Menurut organisasi pro kebebasan berbicara, Athan (dalam bahasa Myanmar berarti suara), sebanyak 44 wartawan dan 142 aktivis telah diadili sepanjang pemerintahan Suu Kyi. Di antara yang ditahan adalah wartawan kantor berita Reuters, Wa Lone (32) dan Kyaw Soe Oo (28). Keduanya dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara, September lalu. Suu Kyi berkomentar bahwa pemenjaraan para wartawan itu tidak ada kaitannya dengan kebebasan berbicara.
Pendiri Athan, aktivis Maung Saung Kha, merupakan anggota partai NLD. Namun, ia bersuara lantang terhadap Suu Kyi. "Pemerintah gagal menggunakan kewenangannya untuk melindungi hak rakyat," kata dia.
(REUTERS)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.