Itikad Baik Diperlukan dalam Perjanjian Kerja Sama
Oleh
ADHI KUSUMAPUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Itikad baik diperlukan dalam sebuah perjanjian bisnis. Tanpa itu, perjanjian bisnis bisa menimbulkan perkara yang bisa dibawa ke ranah hukum. Hal tersebut bisa masuk ke masalah hukum perdata atau privat, bahkan bisa dibawa ke ranah hukum pidana atau publik jika sampai merugikan negara, seperti korupsi dan gratifikasi.
Hal itu disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Joko Priyono, Senin (3/12/2018), saat dihubungi melalui telepon di Jakarta. Ia mengatakan, perjanjian kerja sama antarindividu ataupun antarlembaga swasta dapat berjalan dengan baik jika dilandasi kepercayaan dalam membangun relasi bisnis. Keberhasilan itu terwujud apabila kedua pihak sama-sama menjalankan proses kerja sama dengan baik sesuai perjanjian.
Joko menambahkan, untuk mewujudkan hal itu, keterbukaan perlu dibangun kedua pihak agar tidak ada yang merasa dirugikan di kemudian hari. ”Perjanjian itu harus benar-benar clean, artinya tidak ada unsur kongkalikong,” katanya.
Pernyataan Joko merupakan pandangannya ketika dimintai pendapat terkait sengketa antara Yayasan Universitas 17 Agustus 1945 (UTA 45) dan Direktur PT Graha Mahardikka, Tedja Widjaja, yang mencuat pada Juni 2017. Yayasan UTA 45 terlibat dalam perjanjian kerja sama pembangunan gedung kampus baru dengan Tedja.
Yayasan UTA 45 melaporkan Tedja Widjaja ke polisi dengan dugaan tindak pidana penipuan. Setelah dilimpahkan ke kejaksaan, laporan itu berlanjut hingga ke persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara sejak Oktober 2018 dengan Nomor Perkara 1087/PID.B/2018/PN.JKT.UTR.
Pada penelusuran perkara di situs resmi PN Jakarta Utara, persidangan pertama dilaksanakan pada Kamis (25/10/2018). Saat itu, Tedja dan penasihat hukumnya menyatakan eksepsi atau keberatan jika kasus ini dibawa ke ranah pidana, bukan perdata. Hal itu ditolak oleh hakim pada sidang kedua. Pada Rabu (5/11/2018), Rudyono Darsono selaku Ketua Dewan Pembina UTA 45 akan memberikan keterangan di PN Jaksel dengan agenda keterangan saksi korban.
Dalam surat dakwaan, penuntut umum Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, Fedrik Adhar, mendakwa Tedja Widjaja melakukan tindak pidana penipuan dengan cara menjanjikan penerbitan bank garansi agar pihak UTA 45 bersedia menandatangani akta jual beli, tetapi bank garansi tersebut tidak pernah terbit. Selain itu, ia juga didakwa telah melakukan penggelapan karena menjaminkan lima sertifikat tanah kepada bank.
Kuasa hukum Tedja Widjaja, Andreas Nahot Silitonga, mengatakan, terkait tindak pidana penipuan yang didakwakan kepada kliennya, tidak ada dokumen atau bukti yang menerangkan bahwa Tedja akan menerbitkan bank garansi untuk merealisasikan akta jual beli. ”Terkait tindak pidana penggelapan, seluruh sertifikat yang dijaminkan atas nama PT Graha Mahardikka,” ujar Nahot dalam siaran pers di Jakarta, Senin (3/12/2018).
Melihat secara luas, Joko melihat masalah ini merupakan masalah yang kompleks bila ada persekongkolan dengan pihak ketiga, seperti birokrat dan penegak hukum, dalam mengurus perizinan proyek. ”Selama budaya hukum di Indonesia masih ada gratifikasi dan mark up, hal itu bisa menjadi potensi masalah,” katanya.
Oleh karena itu, menurut Joko, selain itikad baik yang harus dimiliki para pihak yang membuat perjanjian, integritas dan mentalitas birokrat juga dituntut untuk profesional. Selama akuntabilitas dan transparansi birokrat masih bisa diperjualbelikan, hal itu akan mudah dimanfaatkan para individu untuk memudahkan tender proyek dalam sebuah instansi.
Hal itu dapat berdampak pada pengurusan lahan perizinan yang merugikan negara jika ada dugaan korupsi dan gratifikasi dalam proses pengerjaan proyek. (SUCIPTO)