JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menargetkan Indonesia bebas sampah pada 2025. Artinya, 100 persen sampah bisa terkelola dengan baik. Komitmen lintas sektor pun terus diperkuat, termasuk dari dunia usaha.
Kepala Divisi Program Keberlanjutan Lingkungan Hidup Yayasan Unilever Indonesia Maya Tamimi menyampaikan, industri terus berkomitmen agar pengelolaan sampah termasuk kemasan produk bisa berjalan dengan optimal.
“Dari hulu kami terus berupaya agar kemasan produk bisa kembali dikelola. Komitmen ini kami wujudkan melalui inovasi bentuk dan kemasan yang bisa didaur-ulang,” ujarnya seusai acara Rapat Koordinasi Nasional Bank Sampah di Jakarta, Senin (3/12/2018).
Ia menyontohkan, desain kemasan dari produk yang dihasilkan saat ini lebih efisien. Pihaknya juga telah menargetkan pada 2025, semua kemasan plastik yang dihasilkan dipastikan bisa didaur-ulang, digunakan kembali, atau pun bisa dijadikan bahan kompos.
Unilever Indonesia menargetkan menargetkan pada 2025, semua kemasan plastik yang dihasilkan dipastikan bisa didaur-ulang, digunakan kembali, atau pun bisa dijadikan bahan kompos.
“Kami juga telah menghasilkan inovasi terbaru yaitu Creasolv@. Teknologi ini digunakan untuk mendaur ulang kemasan saset atau kemasan plastik fleksibel sehingga bisa digunakan kembali sebagai kemasan baru. Teknologi ini baru ada di Sidoarjo (Jawa Timur) dan yang pertama di dunia,” kata Maya.
Komitmen pengelolaan kemasan produk juga berkembang di industri lain. Komitmen ini ditunjukkan melalui pembentukan Aliansi untuk Kemasan dan Daur Ulang bagi Indonesia Berkelanjutan (Praise). Anggotanya terdiri dari PT Coca-Cola Indonesia, PT Indofood Sukses Makmur Tbk, PT Nestle Indonesia, PT Tetra Pack Indonesia, PT Tirta Investama, dan PT Unilever Indonesia Tbk.
Setiap perusahaan yang tergabung dalam aliansi itu memiliki inisiatif menangani sampah, khususnya pada produk yang dihasilkan.
Manajer Lingkungan Hidup PT Tetra Pack Indonesia Reza Andreanto menuturkan, pihaknya telah berinisiatif mengelola kemasan yang dihasilkan yang terbuat dari karton, polyethylene, dan aluminium. Untuk bahan karton diolah kembali menjadi kertas kartu nama, kotak makanan, dan juga tas berbahan kertas. Kemasan bekas minuman pun bisa didaur ulang menjadi biji plastik dan atap gelombang.
Meski begitu, ujar Reza, rantai ekonomi daur ulang untuk keberlanjutan lingkungan ini belum berjalan dengan baik di masyarakat. “Empat hal yang perlu ditingkatkan, yaitu kesadaran konsumen dalam memilah sampah, infrastruktur pengumpulan sampah, kesempatan usaha bagi pengusaha daur ulang, serta potensi pasar untuk daur ulang,” katanya.
Rantai ekonomi daur ulang untuk keberlanjutan lingkungan ini belum berjalan dengan baik di masyarakat.
Regulasi
Menurut Maya, regulasi yang jelas dari pemerintah diperlukan agar integrasi proses daur ulang sampah dari hulu ke hilir yang berkaitan dengan ekonomi sirkuler bisa terwujud. Regulasi ini dinilai bisa efektif menyadarkan masyarakat dalam proses pemilahan sampah.
“Regulasi memang sudah ada tetapi belum terwujud pada implementasi. Jika ada ketegasan terkait pemilahan sampah, percepatan proses ekonomi sirkuler bisa terjadi,” kayanya.
Ketua Umum Asosiasi Bank Sampah Indonesia (Asobsi) Saharuddin Ridwan menuturkan, regulasi juga diperlukan untuk pengelolaan bank sampah. Berbagai permasalahan masih dijumpai di bank sampah sehingga produktivitasnya pun tidak optimal.
“Bank sampah perlu intervensi melalui regulasi dari pemerintah, terutama untuk regulasi harga sampah agar bisa sama di setiap tempat. Selain itu juga regulasi untuk jenis sampah apa saja yang bisa dijual serta pemasaran dari sampah-sampah yang berhasil dikumpulkan di bank sampah,” tuturnya.