Menyelamatkan Meratus Tak Cukup dengan Menjadikan Geopark Nasional
Oleh
Jumarto Yulianus
·3 menit baca
BANJARMASIN, KOMPAS — Setelah mencuat gerakan penyelamatan Pegunungan Meratus dari eksploitasi pertambangan, pemerintah melalui Komite Nasional Geopark Indonesia menetapkan status Pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan sebagai geopark nasional. Penetapan status itu dinilai bukan solusi tepat.
Ketua Gerakan Penyelamat Bumi Murakata (Gembuk) Rumli mengatakan, masyarakat di Kabupaten Hulu Sungai Tengah kini tengah berjuang mempertahankan kawasan Pegunungan Meratus agar tidak ditambang. Pegunungan Meratus harus dipastikan tetap lestari dan tidak dieksploitasi.
”Kami tetap konsisten menolak pertambangan dan perkebunan kelapa sawit di Bumi Murakata (julukan Hulu Sungai Tengah). Untuk menyelamatkan Meratus, pencabutan izin tambang PT Mantimin Coal Mining jauh lebih mendesak daripada penetapan status geopark nasional,” kata Rumli yang dihubungi dari Banjarmasin, Selasa (4/12/2018).
Kawasan Pegunungan Meratus saat ini dalam posisi terancam setelah terbit Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 441.K/30/DJB/2017 tentang Penyesuaian Tahap Kegiatan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara PT Mantimin Coal Mining menjadi Tahap Kegiatan Operasi Produksi di Kabupaten Balangan, Tabalong, dan Hulu Sungai Tengah.
Menurut Rumli, masyarakat belum mengetahui apa saja dampak positif dan negatif dari status Pegunungan Meratus sebagai geopark nasional. Sejauh ini, juga tidak ada jaminan kawasan tertentu dari Pegunungan Meratus tidak ditambang dengan penetapan status tersebut.
”Kami menyayangkan penetapan yang dilakukan secara sepihak. Dalam prosesnya, kami tidak pernah dilibatkan. Seharusnya, selesaikan dulu masalah perizinan PT MCM yang mengancam Meratus, baru membahas status geopark,” tuturnya.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel Kisworo Dwi Cahyono juga menyatakan tidak pernah dilibatkan Pemerintah Provinsi Kalsel dalam perencanaan penetapan status geopark Pegunungan Meratus. ”Kami tidak tahu juga apakah status geopark itu mampu membentengi Meratus dari izin-izin industri ekstraktif yang sudah ada,” ujarnya.
Menurut Kisworo, penetapan status semacam itu seharusnya melibatkan masyarakat adat Dayak Meratus dan pihak terkait lainnya. ”Yang paling utama saat ini adalah pengakuan wilayah adat Dayak Meratus. Setelah itu, baru penetapan fungsi lain,” katanya.
Manajer Data dan Kampanye Walhi Kalsel Rizqi Hidayat mengatakan, penetapan status geopark itu tidak menjawab kegelisahan masyarakat adat di tengah ancaman penambangan Meratus. ”Status geopark itu bukan usulan dari masyarakat adat. Ini berpotensi menimbulkan permasalahan baru terkait aspek pengelolaan wilayah dan sumber daya alam,” ujarnya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kalsel Ikhlas Indar mengatakan, penetapan status geopark, yang merupakan usulan Dinas ESDM Kalsel, bertujuan untuk melindungi warisan geologi.
Geopark (taman geologi atau taman bumi) mengintegrasikan pengelolaan warisan geologi dengan warisan budaya dari suatu wilayah untuk tiga tujuan utama, yaitu konservasi, edukasi, dan pembangunan berkelanjutan.
”Status geopark akan menjamin konservasi kawasan Pegunungan Meratus. Kawasan tersebut dipastikan tidak akan dieksploitasi. Status geopark juga berpotensi menjadi daya tarik wisata yang pasti akan menguntungkan masyarakat setempat,” kata Ikhlas.