”Gencatan senjata” Amerika Serikat-China terkait tarif hanya memberikan jeda bagi perseroan dan investor. Status perang dagang di antara kedua negara masih berlangsung.
BEIJING, SENIN Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping masih menghadapi perpaduan rumit di ranah domestik masing-masing, khususnya antara para nasionalis ekonomi, para pendukung perdagangan bebas, dan kekuatan- kekuatan lain yang saling bertentangan. Jika proses negosiasi kedua negara yang ditetapkan dalam tenggat 90 hari itu buntu, Trump kemungkinan menghadapi tekanan baru dari kelompok garis keras untuk melanjutkan eskalasi perang tarif.
Trump memberlakukan kenaikan tarif 25 persen terhadap impor dari China senilai 50 miliar dollar AS pada Juli 2018 terkait tuduhannya bahwa Beijing mencuri atau menekan perusahaan- perusahaan AS yang ingin berinvestasi di China guna menyerahkan teknologi. Trump siap menambah tarif terhadap barang impor dari China senilai 200 miliar dollar AS menjadi 25 persen pada 1 Januari 2019.
Beijing membalas dengan menaikkan tarif impor atas aneka produk AS. Tuduhan AS dilihat para pemimpin China sebagai semacam penghalang rute Beijing menuju kemakmuran lebih tinggi dan penghambat upaya memperluas pengaruh globalnya. China menawarkan perubahan rincian kesepakatan, tetapi menolak tekanan untuk membuang cetak birunya, seperti ”Made in China 2025”. Cetak biru ini menjadi bagian upaya penciptaan para juara China di bidang robotika dan bidang-bidang lain yang dipimpin pemerintah di negara itu.
”Hal itu adalah pusat dari agenda inti Xi untuk membuat China adidaya di bidang inovasi,” demikian dikatakan Michael Hirson, Jeffrey Wright, dan Paul Triolo dari Eurasia Group dalam laporan mereka. ”Ini terkait dengan persaingan geopolitik yang kuat dengan Washington.”
Tetap rumit
Para negosiator diproyeksikan tetap menghadapi agenda yang menakutkan dan cenderung rumit dalam tempo 90 hari untuk menghasilkan kemajuan. Rajiv Biswas dari IHS Markit memproyeksikan sebuah proses negosiasi akan meningkat. Namun, China dinilai harus ”menyetujui langkah-langkah yang sangat substansial” guna mencapai kesepakatan itu.
”Tidak mungkin bagi China membatalkan kebijakan industri atau rencana pengembangan industri dan teknologi utama,” kata ekonom Cui Fan dari Universitas Bisnis Internasional dan Ekonomi di Beijing.
Cui menempatkan kemungkinan kesepakatan AS-China tercapai pada posisi lebih dari 50 persen. Namun, dia mengatakan tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan.
Kelompok-kelompok bisnis menyambut baik perubahan-perubahan terkait kebijakan yang diambil AS-China itu. Namun, pada saat bersamaan muncul keluhan terkait peraturan lain yang membatasi akses ke pasar, termasuk keuangan, logistik, dan teknologi pertanian. ”Perusahaan menginginkan tanggapan yang tulus terhadap masalah itu dengan sasaran yang dapat diukur,” kata Kenneth Jarrett, Presiden Kamar Dagang AS di Shanghai, melalui surat elektronik.
Trump menyatakan, China berjanji menganulir tarif otomatis 40 persen. Namun, sejauh ini belum ada tanggapan Beijing atas hal itu. Di sisi lain, China memiliki tuntutannya sendiri. Beijing tidak senang dengan batasan AS pada ekspor teknologi dengan kemungkinan aplikasi militer. Beijing merasa perusahaan-perusahaan China diperlakukan tidak adil dalam tinjauan keamanan AS dalam hal akuisisi perusahaan.
”China berharap AS memperlakukan perusahaan China secara sama dan mengurangi pembatasan investasi asing dan ekspor produk teknologi tinggi ke China,” kata Song Lifan, ekonom di Renmin University, di Beijing.
Salah satu ukuran yang mungkin untuk kemajuan negosiasi AS-China adalah apakah Beijing menawarkan ”konsesi yang berarti” atas teknologi. Tanpa itu, Trump siap didesak menabuh genderang perang dagangnya lebih keras. (AP/AFP/BEN)