Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan mungkin kesal karena belum ada satu pun perusahaan tambang batubara di Indonesia yang melaksanakan hilirisasi. Hilirisasi yang ia maksud adalah gasifikasi batubara, yakni mengubah batubara lewat serangkaian proses tertentu menjadi gas dimetil eter. Pengusaha, seperti yang ia katakan di acara Pertamina Energy Forum pekan lalu di Jakarta, maunya hanya gali dan jual.
Pasal 95 huruf c pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara secara tegas menyebutkan bahwa pemegang izin usaha pertambangan wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan batubara di dalam negeri. Meningkatkan nilai tambah, dalam konsep sederhana, adalah tidak hanya mengambil manfaat mineral dan batubara dalam bentuk bijih atau konsentrat. Sebagai contoh, mineral tembaga, bauksit, atau nikel sebaiknya tidak dijual berupa ore (bijih), tetapi harus diolah dan dimurnikan di dalam negeri pada fasilitas yang bernama smelter.
Peraturan turunan dari UU Nomor 4/2009 sudah banyak membahas tentang peningkatan nilai tambah mineral secara detail. Bagaimana dengan batubara? Apalagi yang bisa dinaikkan nilai tambah dari bongkahan batubara yang biasanya dibakar untuk kebutuhan energi mesin pembangkit listrik? Sampai sekarang, tak ada aturan khusus mengenai peningkatan nilai tambah batubara.
Menurut pemerintah, hilirisasi batubara terbagi menjadi lima macam, yaitu peningkatan kadar kalori batubara, briket, kokas, gasifikasi, dan pencairan batubara. Namun, dari kelima jenis hilirisasi itu, hanya briket yang telah berhasil dikembangkan secara komersial kendati produksinya belum besar. Keempat program hilirisasi lain masih dalam tahap proyek percontohan dan belum sampai pada tahap komersial.
Pencairan dan gasifikasi batubara di Indonesia dipandang oleh pengusaha tambang sebagai aksi korporasi yang tak ekonomis. Investasinya mahal. Selain itu, teknologi pencarian dan gasifikasi belum sepenuhnya dikuasai Indonesia. Di Asia, hanya China dan Jepang yang punya teknologi tersebut.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pernah membuat uji coba pencairan batubara kendati kemudian tak dilanjutkan. Masalahnya adalah ongkos pengembangannya terbilang mahal dan memerlukan jaminan tertentu. Investasinya butuh Rp 50 triliun untuk menghasilkan 50.000 barel minyak per hari dari batubara. Selain itu, butuh off taker (pembeli produk) dan jaminan pemasok batubara sedikitnya selama 15 tahun.
Kembali lagi ke pertanyaan di awal tulisan, kenapa hilirisasi batubara diperlukan? Batubara disebutkan bisa menjadi pengurang defisit neraca perdagangan migas Indonesia akibat tingginya impor minyak dan elpiji. Dengan gasifikasi, batubara bisa diubah menjadi dimetil eter yang merupakan bahan baku utama elpiji. Dari 6,7 juta ton elpiji yang dikonsumsi per tahun, sekitar 70 persennya harus diimpor. Nilai impornya setara 3 miliar dollar AS atau hampir Rp 43 triliun per tahun.
Angka impor elpiji di atas bukanlah angka yang kecil. Itu belum memasukkan komponen impor minyak dan bahan bakar minyak yang keseluruhannya bisa mencapai 600.000 barel per hari. Dan tingginya impor energi tersebut yang kerap menjadi biang keladi defisit transaksi berjalan Indonesia.
Namun, semangat hilirisasi batubara masih tampak setengah hati. Belum ada regulasi khusus yang memperjelas kewajiban hilirisasi batubara tersebut. Di satu sisi, pemerintah justru membuka pintu ekspor batubara yang lebih luas. Proyeksi produksi batubara seperti yang disusun dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 tak pernah dipatuhi. Ringkasnya, pemerintah sendiri pula yang memberi ruang bagi pengusaha untuk ”gali dan jual”.
Batubara, dan kebanyakan sumber daya alam lainnya di Indonesia, masih diperlakukan sebagai komoditas perdagangan. Dijual untuk mengumpulkan devisa. Batubara belum mampu sepenuhnya menjadi modal penggerak industri di dalam negeri, seperti halnya cita-cita hilirisasi. Bahkan, batubara dijadikan sebagai bantalan menutupi defisit perdagangan lewat penambahan kuota ekspor.
Tak ada salahnya pemerintah mengatur kewajiban hilirisasi batubara seperti yang sempat disinggung Jonan di acara Pertamina Energy Forum. Namun, pemerintah juga perlu memberi fasilitas kemudahan bagi investor, seperti perizinan ataupun insentif fiskal. Dengan demikian, batubara tak lagi seperti yang dikeluhkan, yaitu hanya digali lalu dijual.