DEPOK, KOMPAS--Di era digital, berita bohong atau hoaks berpotensi untuk memengaruhi pengguna internet. Untuk itu, pengguna internet harus mampu menjadi editor atas dirinya sendiri. Di samping itu, diperlukan regulasi pemerintah untuk mengatur platform media sosial.
Hal ini mengemuka dalam Seminar Literasi Media Digital “Mahasiswa Anti Hoax”, Rabu di Auditorium Vokasi Universitas Indonesia, Depok, Rabu (5/12/2018). Dalam kesempatan itu, hadir Ketua Komisi Penyiaran Indonesia, Yuliandre Darwis, Ketua Umum Serikat Media Siber Indonesia, Auri Jaya, Penemu Nutrisi Alami Ciak Po, Sinshe Lim Suriady dan PR & Digital Branding Expert, Romano Bhaktinegara.
Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, penetrasi internet di Indonesia pada 2017 sebanyak 143,26 juta jiwa. Adapun populasi penduduk Indonesia pada 2017 sebanyak 262 juta orang. Hal tersebut menunjukkan jumlah pengguna internet di Indonesia lebih dari setengah jumlah penduduk Indonesia, yaitu 54,68 persen.
Yuliandre Darwis menyatakan, hadirnya internet menggeser paradigma dalam bermedia. Dulunya, fakta membentuk opini. Ini disajikan melalui media massa. Fakta-fakta yang diberitakan kemudian membantu pengguna media untuk mengambil sikap. Lalu, hadirnya media sosial membuat paradigma itu bisa berganti.
“Melalui media sosial, opini bisa membentuk (sesuatu yang diyakini sebagai) fakta,” kata Andre.
Hal itu dibuktikan dengan banyaknya orang meyakini informasi yang sebenarnya tidak akurat. Keyakinan segelintir orang atas isu-isu tertentu, dibagikan dalam berbagai platform di media sosial.
Berdasarkan pengamatan patroli siber Polri, produksi hoaks mencapai ribuan berita setiap hari, contohnya bencana gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah dimanfaatkan oleh 12 orang untuk memproduksi dan menyebarkan 14 konten hoaks (Kompas, 16 Oktober 2018).
Romano Bhaktinegara menambahkan, era digital membuat pengguna media sosial tak hanya berperan sebagai konsumen, melainkan juga sebagai produsen informasi. Oleh sebab itu, pengguna media sosial diminta agar melakukan proses kuratorial atas informasi yang akan dibagi kepada publik.
Jadilah editor bagi diri sendiri. Sebarkan berita yang bermanfaat untuk orang lain. Kita harus cerdas untuk menilai informasi. Kalau tidak yakin, jangan dibagikan.
“Jadilah editor bagi diri sendiri. Sebarkan berita yang bermanfaat untuk orang lain. Kita harus cerdas untuk menilai informasi. Kalau tidak yakin, jangan dibagikan,” kata mantan jurnalis ini.
Devie Rahmawati, Ketua Program Studi Vokasi Komunikasi UI, mengatakan, diskusi ini bertujuan agar membentengi mahasiswa komunikasi agar terhindar dari hoaks. Meski mendapat teori di kelas, pengetahuan tentang ini tetap dibutuhkan.
Salah satu contoh hoaks ringan, kata Devie, adalah tentang acara yang terlambat. Diskusi ini sedianya akan dilakukan pukul 09.00. Namun, diskusi baru dimulai pukul 11.00.
“Mahasiswa merasa diskusi dan seminar yang dimulai pukul 09.00 itu hoaks. Biasanya, kami memang menyelenggarakan seminar pukul 11.00. Makanya banyak peserta seminar yang berpatokan pada jadwal itu,” kata Devie berseloroh.
Andi Fauzan (18), mahasiswa Jurusan Pariwisata mengatakan, dia selalu meragukan setiap berita yang menurutnya tidak masuk akal. Dia bercerita pernah membaca berita ihwal salah satu calon wakil presiden yang mengatakan makan di Singapura lebih murah ketimbang makan di Jakarta. Untuk itu, dia melakukan riset kecil untuk informasi pembanding.
“Setelah saya telusuri di situs pariwisata dan berita di Singapura, ternyata informasi itu meragukan,” kata Andi.
Peserta lain, Sefina (18), sering terpapar informasi yang meragukan. Perempuan penyuka berita pesohor ini pernah meragukan informasi tentang adanya seorang artis yang memergoki istrinya sedang berduaan dengan lelaki lain. Informasi itu dilihatnya dalam video youtube.
“Aku enggak bagiin sih videonya. Tetapi aku tanya-tanya sama teman-teman lain, benar gak informasi itu atau sensasional saja,”kata dia.
Ketua Umum Serikat Media Siber Indonesia, Auri Jaya dalam presentasinya mengatakan, sebanyak 95 persen pengguna internet mengakses berita melalui gawai. Berita itu kebanyakan diakses melalui media sosial.
Oleh sebab itu, dibutuhkan regulasi bagi platform media sosial agar penyebaran hoaks bisa dibendung. Regulasi itu mengatur penyelenggara platform media sosial untuk bertanggung jawab atas konten yang tersebar.
“Di Jerman, aturan ini sudah ada,” kata Auri.
Selain itu, dia juga menyarankan pemerintah membuat regulasi yang mengatur penilaian tenaga kerja melalui akun media sosial yang digunakan. “Secara tidak langsung, mereka akan berpikir sebelum membagikan informasi,” kata dia. (INSAN ALFAJRI)