Indonesia Hadapi Dua Fase di 2019
JAKARTA, KOMPAS-- Volatilitas kondisi perekonomian global masih berlanjut pada 2019 kendati tekanannya terhadap ekonomi domestik berkurang. Situasi ini akan menempatkan Indonesia pada dua fase ekonomi, yaitu fluktuasi dan konsolidasi.
Fluktuasi ekonomi diperkirakan akan terjadi pada semester I-2019 yang diikuti dengan pengetatan kebijakan moneter dan fiskal. Adapun konsolidasi ekonomi diperkirakan berlangsung pada paruh kedua 2019, yang akan diikuti pelonggaran kebijakan moneter dan fiskal.
Dua fase ekonomi itu akan berlangsung di tengah dinamika politik dalam negeri yang menigkat menjelang Pemilihan Umum 2019. Pemerintah diharapkan tidak lengah dan mengutamakan upaya menjaga stabilitas ekonomi daripada mendorong pertumbuhan ekonomi.
Hal itu mengemuka dalam Diskusi Panel Ekonomi “Mengantisipasi Situasi Ekonomi dan Politik 2019” yang diselenggarakan Harian Kompas di Jakarta, Selasa (4/12/2018). Pembicara dalam diskusi itu adalah pengajar Universitas Indonesia (UI) Jakarta Faisal Basri, Kepala Ekonom dan Riset PT Bank UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja, Ketua Dewan Penasihat Ikatan Alumni Lemhanas Bambang Kesowo, dan Dekan Fakultas ekonomi dan Bisnis UI Ari Kuncoro.
Menurut Enrico, volatilitas ekonomi global masih berlanjut karena Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, diperkirakan masih akan menaikkan suku bunga acuannya pada tahun depan. Kendati diperkirakan tidak sebanyak tahun ini, namun kenaikan suku bunga acuan The Fed itu tetap akan memperlambat penguatan rupiah dan memicu langkah investor asing untuk keluar dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Gencatan perang dagang AS-China yang bakal terjadi selama 90 hari juga diperkirakan tetap menyebabkan volatilitas. Volume perdagangan dunia masih akan tumbuh melambat pada triwulan I-2019 dan masih ada kemungkinan berbagai kebijakan mengejutkan dari Presiden AS Donald Trump pada jeda 90 hari perang dagang itu.
“Untuk itu, Indonesia tetap perlu menjaga stabilitas rupiah di paruh pertama 2019, sehingga selisih imbal hasil obligasi pemerintah masih menarik bagi investor asing. Di sisi lain, Indonesia perlu meningkatkan penggunaan mata uang lokal masing-masing negara dalam transaksi dagang, terutama dengan China, untuk menjaga cadangan devisa,” kata Enrico.
Pada semester II-2019, lanjut Enrico, volatilitas itu diperkirakan mereda. Oleh karena itu, Indonesia dapat melonggarkan kebijakan moneter dan fiskal dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi. Saat ini, suku bunga acuan Bank Indonesia sebesar 6 persen.
Sementara, Faisal Basri mengemukakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 diperkirakan tidak akan sekuat tahun ini kendati tekanan eksternal melemah. Perekonomian Indonesia pada 2019 diperkirakan tumbuh 5,1 persen, lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi 2018 yang diperkirakan 5,2 persen.
Hal itu sebagai akibat pengetatan kebijakan moneter dan fiskal selama 2018. Selain itu, pada 2019, kegiatan besar di Indonesia tidak sebanyak pada tahun ini.
“Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini terbantu penyelengaraan Asian Games dan Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional-Bank Dunia. Sementara, tahun depan, kegiatan besar yang diperkirakan akan mendorong perekonomian domestik adalah pemilu,” kata dia.
Momentum
Menurut Faisal, pemilu akan sedikit mengubah dinamika politik dan ekonomi di Indonesia pada tahun depan. Perkembangan teknologi informasi juga akan mengubah perekonomian Indonesia di berbagai sektor, terutama industri.
Siapa pun pemimpin RI yang terpilih dalam Pemilu 2019, harus menjadikan tahun 2019 sebagai momentum untuk memperkokoh fondasi ekonomi Indonesia. Struktur ekonomi Indonesia yang masih rapuh mesti diperbaiki.
“Selama ini Indonesia masih bergantung pada bahan baku impor. Indonesia juga masih bergantung pada dana asing untuk membiayai kekurangan pembiayaan ekonomi. Indonesia juga harus bisa menangkap peluang perkembangan teknologi informasi. Jangan-jangan justru sektor itulah yang akan mengembangkan ekonomi Indonesia, terutama untuk menggerakkan usaha kecil menengah,” ujarnya.
Ari Kuncoro menekankan, Indonesia mesti memanfaatkan celah pada perang dagang AS-China dalam jangka pendek. China telah menurunkan bea masuk impor sejumlah komoditas bagi negara-negara lain di luar AS. Indonesia jangan sampai kalah dari Thailand dan Vietnam dalam memanfaatkan celah itu. Selain itu, Indonesia juga perlu mengubah pola diplomasi perdagangan dengan negara-negara mitra dagang.
“AS di bawah Donald Trump telah mengubah pola diplomasi dari blok-blok menjadi ke personal dengan personal atau negara dengan negara,” kata dia.
Adapun untuk jangka panjang, lanjut Ari, Indonesia perlu meningkatkan kapasitas dan kualitas sumber daya manusia. Tujuannya, menyiapkan tenaga kerja dalam menghadapi pesatnya perkembangan teknologi informasi sekaligus meningkatkan ekspor jasa tenaga profesional.
Bambang Kesowo berharap pemerintah mematangkan strategi kebijakan dalam menghadapi tekanan global dan situasi domestik. Selama ini, belum ada “jembatan” yang kuat yang mampu menjadi perantara dalam mengkonversikan persoalan yang dihadapi Indonesia menjadi strategi kebijakan.
Tahun 2019 diharapkan menjadi ruang kesadaran bersama untuk membangun perekonomian Indonesia. Pemimpin terpilih jangan sampai mengabaikan keberlanjutan kebijakan dan program yang telah dilakukan saat ini. “Stabilitas kebijakan perlu dijaga karena selama ini ada kecenderungan memunculkan kebijakan-kebijakan baru, padahal kebijakan lama yang sudah baik belum tuntas dirampungkan,” ujar Bambang. (HEN)