Kisah Hilangnya Pabrik-pabrik Gula di Yogyakarta
Pada Februari 1945, Elvire Jenny Vernez ditahan oleh pasukan Jepang yang saat itu menguasai wilayah Hindia Belanda. Bersama ibu dan kakak perempuannya, Elvire yang waktu itu berusia 5 tahun ditahan di sebuah kamp internir yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dari kesaksian Elvire dan sejumlah literatur sejarah, kamp internir yang digunakan pasukan Jepang itu ternyata merupakan bekas Pabrik Gula Sewugalur yang terletak di Desa Karangsewu, Kecamatan Galur, Kulon Progo. Di bekas pabrik gula itu, Elvire dan keluarganya ditahan bersama banyak warga sipil Belanda dan Indo atau warga berdarah campuran.
Namun, penahanan itu hanya berlangsung kurang lebih satu tahun. Pada Mei 1946 atau beberapa bulan setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, Elvire, ibu, dan kakak perempuannya dibebaskan. Mereka kemudian berhasil bertemu kembali dengan sang ayah yang ditahan di kamp internir lain, lalu akhirnya pulang ke Belanda pada April 1947.
Saat ini, Elvire yang berusia 78 tahun hidup tenang di kota Edam, Belanda. Namun, terkadang dia masih berkunjung ke Indonesia—yang merupakan negeri kelahirannya—untuk napak tilas sejarah keluarganya.
Kisah Elvire itu terungkap dalam pameran foto bertajuk ”Suikerkultuur: Jogja yang Hilang” yang digelar di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), 4-12 Desember 2018. Seperti tajuknya yang memakai kata ”suikerkultuur” atau budaya gula, pameran tersebut menghadirkan foto-foto tentang pabrik gula yang pernah ada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Untuk menggelar pameran ini, BBY bekerja sama dengan Komunitas Roemah Toea yang beranggotakan para penggemar sejarah era kolonial. ”Kami menyiapkan pameran ini dalam waktu sekitar dua bulan. Selain memakai foto-foto lama, kami juga mengunjungi lokasi bekas pabrik gula untuk mendokumentasikan sisa-sisa pabrik yang pernah ada,” tutur pengelola BBY, Yunanto Sutyastomo, Selasa (4/12/2018).
Oleh karena itu, selain menampilkan foto-foto lama bangunan pabrik gula di masa lalu, pameran tersebut juga menyajikan foto-foto terkini yang menggambarkan sisa-sisa pabrik gula yang pernah jaya di DIY. Di ruang pameran, kita juga menemukan banyak sekali data tertulis tentang sejarah pabrik gula, juga beberapa perlengkapan yang pernah dipakai di pabrik gula masa lalu.
Selain menampilkan foto-foto lama bangunan pabrik gula di masa lalu, pameran tersebut juga menyajikan foto-foto terkini yang menggambarkan sisa-sisa pabrik gula yang pernah jaya di DIY.
Saat mendatangi pameran itu, sebagian pengunjung mungkin akan terkejut karena mendapati fakta bahwa DIY ternyata pernah memiliki pabrik gula yang cukup banyak. Ya, pada masa kolonial Hindia Belanda, di wilayah DIY ternyata pernah berdiri 19 pabrik gula. Apabila menggunakan pembagian wilayah administratif masa kini, ke-19 pabrik itu tersebar di tiga kabupaten: Bantul, Sleman, dan Kulon Progo.
Di Bantul, terdapat Pabrik Gula (PG) Pundong, PG Wonocatur, PG Padokan, PG Sedayu, PG Bantul, PG Gesikan, PG Gondanglipuro, PG Kedaton Plered, dan PG Barongan. Di Sleman, terdapat PG Rewulu, PG Demak Ijo, PG Klaci, PG Cebongan, PG Tanjungtirto, PG Sendangpitu, PG Beran, PG Randugunting, dan PG Medari. Sementara di Kulon Progo, hanya ada satu pabrik gula, yakni PG Sewugalur.
Sejarah panjang
Kurator BBY Hermanu menuturkan, industri gula di Pulau Jawa memiliki sejarah yang panjang. Pada masa kerajaan Hindu di Jawa, sudah terdapat usaha produksi gula dalam skala rumahan yang dikelola oleh masyarakat. Usaha produksi gula pada masa itu masih menggunakan peralatan sederhana dari kayu—yang digerakkan oleh kerbau—untuk menggiling atau memipihkan batang tebu agar menghasilkan air tebu yang kemudian diproses menjadi gula.
Hermanu menambahkan, pada tahun 1637, Gubernur Jenderal Van Diemen memberi izin produksi gula di wilayah Batavia dan Banten selama 10 tahun kepada seorang Tionghoa bernama Jan Kong. ”Inilah mungkin awal dari industri gula di tanah Jawa, yang kemudian terus berkembang dan mencapai puncaknya pada tahun 1925 dengan produksi sebanyak 2.000.000 ton dari 179 pabrik yang beroperasi di seluruh tanah Jawa,” sebutnya dalam pengantar tertulis pameran.
Ketua Komunitas Roemah Toea, Aga Yurista Pambayun, mengatakan, pabrik gula tertua di DIY adalah PG Barongan yang beroperasi tahun 1860, sementara yang termuda adalah PG Sendangpitu yang beroperasi tahun 1922. Ia menambahkan, sebagian pabrik gula di Yogyakarta awalnya merupakan pabrik pengolahan tanaman nila menjadi pewarna tekstil. Dari 19 pabrik gula yang pernah ada di DIY, sebanyak 10 pabrik mulanya dibangun sebagai pabrik pengolahan nila.
Sebelum industri gula mendominasi, industri pengolahan tanaman nila memang cukup dominan di Yogyakarta pada masa kolonial. Namun, menurut Aga, pada akhir abad ke-19, harga nila sebagai pewarna tekstil turun drastis karena adanya pewarna sintetis. Kondisi itulah yang menyebabkan sejumlah perusahaan yang awalnya mengelola pabrik pengolahan nila beralih ke industri gula.
Aga memaparkan, semua pabrik gula di Yogyakarta era kolonial itu dikelola oleh perusahaan swasta asal Belanda. Perusahaan-perusahaan itu menyewa tanah dari Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman untuk dijadikan pabrik dan perkebunan tebu. Dari 19 pabrik yang pernah ada di Yogyakarta, sebanyak 18 pabrik berdiri di wilayah Keraton Yogyakarta, sementara satu pabrik, yakni PG Sewugalur, berdiri di area kekuasaan Kadipaten Pakualaman.
Aga menuturkan, saat dirinya dan teman-teman di Komunitas Roemah Toea menelusuri sejarah pabrik-pabrik gula di Yogyakarta, ada sejumlah kisah unik yang ditemukan. Salah satunya adalah kisah Elvire Jenny Vernez yang pernah ditahan di kamp internir di bekas PG Sewugalur.
Berkat koneksi dengan temannya di Belanda, Aga berhasil mewawancarai Elvira sehingga kisah perempuan itu pun bisa ditampilkan di pameran ini. ”Saya bisa mewawancarai Ibu Elvira karena dia ternyata merupakan teman dari kawan saya di Belanda,” ungkap Aga.
Di PG Sewugalur pula Aga dan teman-teman menemukan sebuah kompleks makam orang Belanda. Sayangnya, informasi mengenai orang-orang yang dimakamkan di sana sangat minim karena banyak plakat nama di nisan makam yang hilang akibat dicongkel oleh orang-orang tak bertanggung jawab. Satu-satunya makam yang bisa diidentifikasi adalah milik Maria Arabella Junemann. Berdasarkan penelusuran, Maria adalah istri seorang pekerja di PG Sewugalur.
Sisa-sisa
Meski industri gula di Yogyakarta pernah mengalami masa kejayaan, ingatan tentang industri itu di kalangan generasi masa kini hampir tak pernah ada. Hal itu karena sebagian besar bangunan pabrik gula yang pernah ada di DIY telah hilang dan tak bersisa. Saat ini, memang hanya ada beberapa pabrik yang bangunannya masih bersisa. Namun, bangunan-bangunan yang bersisa itu pun tak lagi digunakan untuk pabrik gula.
Salah satu pabrik gula yang sisa bangunannya masih relatif banyak adalah PG Wonocatur. Kini, sebagian bangunan pabrik itu menjadi bagian dari Museum Pusat TNI Angkatan Udara Dirgantara Mandala. ”Beberapa rumah dinas di kawasan PG Wonocatur juga masih ada sampai sekarang,” ucap Aga.
Meski industri gula di Yogyakarta pernah mengalami masa kejayaan, ingatan tentang industri itu di kalangan generasi masa kini hampir tak pernah ada.
PG Medari juga masih menyisakan beberapa bangunan, misalnya bekas rumah dinas kepala pabrik yang kini dipakai sebagai ruang guru SMP Negeri 1 Sleman dan bekas rumah dinas pegawai yang saat ini dimanfaatkan Komando Distrik Militer (Kodim) 0732/Sleman.
Di PG Cebongan, satu-satunya bangunan tersisa adalah bekas rumah sakit untuk pegawai pabrik gula yang kini digunakan untuk Puskesmas Mlati II. Sementara PG Sewugalur dan PG Tanjungtirto masih menyisakan bangunan rumah dinas.
Di sisi lain, di lahan bekas PG Padokan, kini terdapat pabrik gula baru, yakni PG Madukismo yang mulai dibangun tahun 1955 dan beroperasi pada 1958. Meski didirikan di wilayah bekas pabrik gula, PG Madukismo menggunakan bangunan baru karena bangunan PG Padokan sudah hancur bertahun-tahun sebelumnya.
Aga menyatakan, pabrik-pabrik gula di Yogyakarta mengalami kemunduran dan bahkan kemudian tutup karena sejumlah faktor. Salah satunya adalah terjadinya krisis ekonomi dunia pada 1929-1930. Dari 19 pabrik gula di Yogyakarta, hanya 8 yang bisa bertahan melewati krisis ekonomi itu.
Namun, setelah Jepang masuk ke wilayah Indonesia pada tahun 1942, pabrik-pabrik gula yang masih tersisa itu dikuasai oleh pasukan Jepang. Pabrik-pabrik tersebut kemudian digunakan untuk kepentingan pasukan Jepang, misalnya untuk kamp internir. ”Saat Jepang masuk, pabrik-pabrik gula yang masih berfungsi dipaksa stop produksi, lalu digunakan untuk kepentingan Jepang,” ungkap Aga.
Setelah kemerdekaan Indonesia, sejumlah bangunan pabrik gula di Yogyakarta hancur karena adanya konflik antara pejuang Indonesia dan tentara Belanda yang ingin kembali berkuasa. Saat Agresi Militer Belanda II berlangsung tahun 1948, para pejuang Indonesia membumihanguskan sejumlah infrastruktur dan bangunan sebagai bagian dari taktik perang.
Beberapa bangunan pabrik gula di Yogyakarta ikut dibumihanguskan saat itu, misalnya PG Padokan, PG Gesikan, dan PG Gondanglipura. Di sisi lain, tentara Belanda juga menghancurkan bangunan PG Rewulu pada Desember 1948 karena bangunan pabrik itu digunakan untuk markas pasukan pejuang Indonesia.
Sementara itu, pada tahun 1949, pejuang Indonesia juga membumihanguskan beberapa bangunan pabrik gula, misalnya PG Demak Ijo, PG Cebongan, dan PG Tanjungtirto. ”Makanya tidak heran banyak pabrik gula di Yogyakarta yang akhirnya hilang,” kata Aga.