Manfaatkan Media Sosial untuk Membuat Konten Pembelajaran
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
BADUNG, KOMPAS – Penggunaan media digital dalam pembelajaran mayoritas masih sebatas terkait pemberian tugas dan bahan bacaan. Diperlukan pembekalan lebih lanjut kepada seluruh warga sekolah tentang cara pemanfaatan gawai dan media sosial sebagai alat pencari ilmu dan membuat konten pendidikan.
"Sebanyak 83 persen siswa ketika disurvei mengatakan, mereka mencari sendiri sumber-sumber bacaan digital seperti buku elektronik di internet, sisanya mengaku dibantu oleh guru atau pun orangtua," kata peneliti dari Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jaka Warsihna dalam diskusi paralel mengenai pelatihan kompetensi guru terkait kebutuhan pembelajaran di era Revolusi Industri 4.0. Acara ini merupakan bagian dari Simposium Internasional Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh 2018 yang diadakan di Badung, Bali, Selasa (4/12/2018).
Ia menjabarkan, siswa mengungkapkan mereka tidak memiliki acuan yang jelas ketika mencari bahan bacaan di internet. Walhasil, keakuratan informasi hasil berselancar di dunia maya itu tidak bisa dijamin.
Penelitian itu juga mengatakan bahwa 71,3 persen siswa hanya menggunakan buku elektronik ketika disuruh oleh guru untuk membuat tugas. Mereka berharap buku-buku digital itu lebih interaktif seperti ada animasi, video, dan rekaman suara agar lebih menarik.
"Puskurbuk tengah mengembangkan buku-buku digital yang sesuai dengan materi Kurikulum 2013. Artinya, mengakomodasi pola pendidikan yang lebih banyak praktikum dan pemecahan masalah," kata Jaka. Guru-guru diperbolehkan mengirimkan usulan atau pun materi untuk buku digital tersebut lewat laman buku.kemdikbud.go.id.
Senada dengan penelitian itu, peneliti Rijanto Purbojo dari Universitas Pelita Harapan memaparkan, siswa tetap menginginkan porsi pembelajaran tatap muka dengan guru. Selain itu, mereka berharap guru tidak hanya memberi motivasi, tetapi juga mampu mengadakan diskusi dan memoderatorinya, termasuk di media sosial tempat siswa dan guru berkumpul.
Agar hal tersebut bisa dicapai, guru membutuhkan peningkatan kapasitas penguasaan dan pemanfaatan media digital. Tujuannya, selain mengunggah tugas dan tautan rujukan yang harus diakses siswa, guru juga bisa membuat modul pembelajaran interaktif.
Laman pembelajaran
Salah satu lembaga yang sudah memanfaatkan pelatihan guru melalui media digital adalah Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Ilmu Pengetahuan Alam (P4TK IPA). Mereka membuat laman pembelajaran bagi Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPA di laman mgmp.p4tkipa.net.
"Sejauh ini, dari 1.800 MGMP IPA yang mencakup pelajaran fisika, kimia, dan biologi, baru 149 MGMP yang aktif di laman ini," kata Direktur P4TK IPA Sediono Abdullah. Akan tetapi, setiap hari ada peningkatan jumlah orang yang mengakses laman.
Ia menjelaskan, selain memberi modul pelatihan dalam jaringan, para guru anggota MGMP IPA juga bisa mengunggah konten pembelajaran buatan mereka sendiri, beserta dokumentasi praktikum yang dilakukan siswa. Guru-guru lain bisa meminta saran atau pun memberi masukan terkait materi yang dibahas. Hal ini memungkinkan P4TK IPA bisa memantau tren yang ada di pembelajaran IPA di sekolah-sekolah sehingga mereka bisa menyesuaikan materi.
Hal serupa juga dilakukan oleh Departemen Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Menurut ketua departemen itu, Laksmi Dewi, dilakukan berbagai sosialisasi dan pembekalan kepada guru-guru di Jawa Barat. Tantangan terbesar ialah motivasi guru dalam belajar karena masih ada yang beralasan tidak memiliki waktu mengutak-atik gawai, padahal setiap hari mereka selalu aktif bermedia sosial.
Literasi digital
Sementara itu, Direktur Pendidikan Microsoft Asia Pasifik Don Carlson mengungkapkan bahwa ternyata negara-negara yang berinvestasi besar pada pembangunan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi tidak otomatis bisa meraih skor besar dalam ujian matematika, sains, dan membaca tingkat internasional. Hal ini karena di negara-negara berkembang pembangunan infrastruktur digital jarang disertai peningkatan literasi digital masyarakat.
"Teknologi adalah alat, bukan tujuan dan capaian. Cara masyarakat memanfaatkan teknologi akan menentukan tingkat capaian literasi di segala bidang," tuturnya.
Kecanggihan teknologi memungkinkan pembelajaran menjadi tanpa batas geografis dan waktu, merata, dan bisa diadaptasi sesuai pola pembelajaran setiap individu. Carlson menjelaskan, guru-guru perlu belajar soal pemanfaatan mahadata dan teknologi awan (cloud storage).
"Dari interaksi belajar di media sosial, guru bisa mengumpulkan data siswa secara otomatis dengan bantuan program komputer. Hasilnya bisa dijadikan matriks peta kemampuan siswa sehingga akan terlihat hal-hal yang menjadi kekuatan siswa dan aspek yang perlu ditingkatkan," ujarnya.