Setelah kasus penyanderaan atas para peneliti Ekspedisi Lorentz pada 1996 di Mapenduma, serangan atas karyawan PT Istaka Karya yang terjadi pada Minggu (2/12/2018) di Distrik Yigi, Kabupaten Nduga, kembali menempatkan wilayah itu dalam sorotan.
Dalam satu tahun terakhir, aktivitas kelompok kriminal bersenjata itu relatif meningkat. Serangan di Yigi terjadi hanya dua bulan setelah penyanderaan 15 guru dan perawat di Mapenduma dan lima bulan setelah penembakan atas pesawat Trigana Air di Kenyam, ibu kota Nduga, yang melukai pilot dan menewaskan tiga penumpang.
Catatan itu menempatkan Nduga sebagai kawasan rawan, seperti halnya Kabupaten Puncak, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kabupaten Lanny Jaya. Oleh mantan Kepala Polda Papua saat itu, Inspektur Jenderal Paulus Waterpauw, ketiga wilayah itu disebut ”segitiga hitam”.
Kawasan itu diidentifikasi sebagai basis gerakan kelompok sipil bersenjata, yang oleh gerakan kemerdekaan Papua disebut Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM). Mereka berada di bawah koordinasi tokoh-tokoh, seperti Goliath Tabuni, Puron Wenda, dan Enden Wanimbo.
Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Papua Frits Ramandey mengatakan, serangan atas karyawan PT Istaka Karya diduga dipimpin anak-anak muda berusia 30-an tahun.
Maraknya serangan dalam satu tahun terakhir merefleksikan adanya upaya menunjukkan eksistensi diri, sekaligus merespons tekanan aparat keamanan.
Ia menengarai, serangan-serangan itu dilakukan secara spontan dan merefleksikan ketiadaan struktur komando yang jelas. Meskipun kelompok-kelompok di wilayah Pegunungan Tengah Papua dan Jayawijaya selalu merujuk kepada Goliath Tabuni sebagai pemimpin tertinggi mereka, serangan di Yigi menunjukkan sebaliknya.
Seorang tokoh senior gerakan kemerdekaan Papua mengatakan, serangan itu mengindikasikan tidak adanya kesatuan antara langkah politik dan organ bersenjata dalam tubuh gerakan.
”Serangan itu menunjukkan kepemimpinan yang tidak solid karena tidak mampu mengendalikan gerakan,” ujarnya.
Merujuk pernyataan sejumlah aktivis OPM, Frits mengatakan, para aktivis itu menyesalkan serangan terhadap warga sipil, seperti perawat, guru, dan karyawan proyek. Menurut mereka, serangan itu merusak citra, memutus simpati, dan konsolidasi politik gerakan Papua merdeka.