Pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, Presiden Joko Widodo mengajak seluruh komponen bangsa menjadikan gerakan antikorupsi sebagai sebuah gerakan bersama, selain juga tak akan memberikan toleransi sedikit pun kepada pelaku.
Jakarta, Kompas - Dalam peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di Jakarta, Selasa (4/12/2018), Presiden Joko Widodo mengajak seluruh komponen bangsa menjadikan gerakan antikorupsi sebagai sebuah gerakan bersama. Terkait hal itu, ditegaskan, tidak akan ada toleransi sedikit pun terhadap pelaku korupsi, apalagi koruptor yang melarikan hasil korupsinya ke luar negeri.
”Gerakan ini harus menjadi gerakan bangsa, gerakan kita bersama, baik institusi negara, masyarakat sipil, maupun masyarakat luas,” tutur Presiden Jokowi di tengah peringatan yang juga dihadiri Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo, pimpinan lembaga negara, dan sejumlah pejabat. Hadir pula, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, dan beberapa pimpinan partai politik.
Namun, di tengah peringatan Hari Antikorupsi, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia masih berada di angka 37. Jika dibandingkan dengan tahun 1998, ketika IPK Indonesia masih 20, IPK 2017 tersebut relatif menunjukkan kenaikan signifikan. Namun, jika angka 0 menunjukkan keparahan korupsi dan angka 100 sebagai sangat bersih, Indonesia masih jauh dari kondisi ideal. Sepanjang 2004 hingga akhir Oktober 2018, setidaknya 100 kepala daerah ditangkap KPK. Bahkan, sejak 2015, ada 14 hakim di Mahkamah Agung ditangkap KPK. Belum lagi anggota DPR, DPRD, dan kepala daerah.
Terkait dana hasil korupsi yang dibawa ke luar negeri, Presiden mengatakan, pemerintah sudah pada tahap akhir menandatangani perjanjian bantuan hukum timbal-balik (mutual legal assistance/MLA) dengan Pemerintah Swiss. Dengan skema MLA, pemerintah dapat mengejar hasil korupsi dan pencucian uang yang disembunyikan pelaku di luar negeri. Sejauh ini, perundingan untuk menyusun kesepakatan kerja sama MLA Indonesia-Swiss dimulai sejak 2015.
Oleh karena itu, lanjut Presiden Jokowi, korupsi adalah korupsi. Tak bisa diganti dengan nama lain. Diperlukan upaya pemberantasan dengan beragam cara dan inovasi. Salah satunya membuat sistem perencanaan penganggaran dan pengadaan barang yang transparan melalui e-planning, e-budgeting, dan e-procurement.
Menurut Agus, stagnasi IPK Indonesia selama ini tak bisa dilepaskan dari hubungannya dengan partai politik yang merupakan pelaksana politik dan demokrasi yang belum menggembirakan. ”Kehadiran parpol kali ini merupakan komitmen partai sebagai peserta Pemilu 2019. Mereka akan menegakkan integritas politik di partai masing-masing. Diharapkan perbaikan demokrasi akan bisa terjadi,” katanya.
Perbaikan sistem kerja
Lebih jauh, menurut Kepala Negara, perbaikan sistem kerja juga menjadi salah satu kunci mencegah korupsi. Ketika sistem kerja, sistem pelayanan, sistem perizinan, dan sistem pengambilan kebijakan pemerintah berjalan sederhana, transparan, dan cepat, tak ada alasan menyuap.
Untuk itu, kini ada langkah debirokratisasi untuk mewujudkan efisiensi dan perbaikan agar kerja tak lagi berorientasi pada prosedur, melainkan pada hasil. ”Yang menyuap itu pasti pelayanannya ruwet, ribet, bertele-tele, lama, tidak transparan. Karena pengusaha ingin cepat. Ini yang harus kita benahi,” tutur Presiden Jokowi.
Pembenahan sistem kerja ini tak hanya memberantas korupsi, tetapi juga mengatasi tantangan yang berubah sangat cepat, untuk memenangi kompetisi global. Presiden meyakini, keberhasilan gerakan antikorupsi tak diukur dari berapa banyak koruptor ditangkap dan dipenjara, tetapi dari ketiadaan melakukan korupsi.
Di tengah acara tersebut, KPK juga mengundang parpol peserta Pemilu 2019 untuk menandatangani pakta Sistem Integritas Partai Politik. Dengan penandatanganan pakta tersebut, pembenahan integritas parpol diharapkan tak sekadar wacana, tetapi menjadi wujud nyata. Namun, dari 16 parpol yang diundang, dua partai tidak hadir, yaitu Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Bulan Bintang.