JAKARTA, KOMPAS –Peredaran narkoba kini tidak hanya terjadi di kota-kota besar, melainkan juga di perdesaan. Lebih dari 500 desa pesisir rentan menjadi target sehingga sudah saatnya untuk membentenginya dari pengaruh narkoba.
Inspektur Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal , dan Transmigrasi, Ansar Husen, Kamis (6/12/2018) di Jakarta, menyampaikan, ada 74.957 desa di seluruh Indonesia.
Menurut Ansar, lebih dari 500 desa berada di daerah pesisir yang rentan dimasuki narkoba. Di sana terdapat banyak pelabuhan "tikus" yang memungkinkan narkoba masuk secara ilegal.
Pembangunan pesat di perdesaan beberapa waktu belakangan menyebabkan pertumbuhan ekonomi di desa meningkat. Dampak negatifnya, bandar-bandar narkoba kini mengalihkan bidikan untuk mengedarkan narkoba ke desa-desa.
“Apabila perekonomian desa meningkat, maka akan mempengaruhi masuknya bandar-bandar narkoba di desa,” ujar Ansar dalam forum diskusi di Jakarta, Kamis.
Ansar mengatakan, dana desa kini bisa dipergunakan untuk melawan narkoba. Anggaran desa dapat dialokasikan untuk kegiatan sosialisasi bahaya narkoba.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala BNN Komisaris Jenderal Heru Winarko menambahkan, narkoba biasanya menyasar daerah-daerah yang pertumbuhan ekonominya baik.
Program dana desa, kata dia, mampu membuat perekonomian di desa menggeliat. Dampak buruknya, desa-desa kini dibidik bandar-bandar sebagai tempat peredaran narkoba selain di perkotaan.
Heru menyebut desa-desa di Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Lampung rawan dimasuki narkoba. Agar program-program pembangunan di desa tidak terbengkalai karena narkoba, penguatan desa mendesak dilakukan.
Berdasarkan data BNN, saat ini ada sekitar 30-40 jiwa meninggal per hari karena narkoba. Desa-desa di pesisir rentan dimasuki narkoba karena 80 persen narkoba di Indonesia berasal dari luar.
Heru menjelaskan, kepala desa memiliki peran sentral dalam menghalau narkoba masuk ke wilayahnya. Ia perlu bekerja sama dengan Bintara Pembina Desa (Babinsa), Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas), dan pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas).
“Terutama bagi desa-desa di pesisir kami harapkan ada ketahanan untuk menolak narkoba. Karena di sana banyak pelabuhan tikus yang jadi jalur masuk narkoba,” ujar Heru.
Ketahanan desa salah satunya diupayakan melalui program pembangunan alternatif. Program itu sudah berjalan sejak 2011. Setiap potensi atau ikon perekonomian desa dikembangkan demi mempersempit ruang gerak peredaran narkoba.
Implementasi program pembangunan alternatif, misalnya, di Aceh, BNN bersama Kementerian Pertanian bekerja sama untuk mengganti tanaman ganja dengan tanaman penghasil narkotika dengan tanaman pertanian. Pembangunan alternatif itu, kata Heru, bakal lebih gencar difokuskan di wilayah-wilayah desa yang rentan dimasuki narkoba.
Selain itu, desa-desa juga memiliki diskresi penegakan hukum jika ada penyalahgunaan narkoba. Sebagai contoh, desa-desa di Bali memiliki semacam awig-awig (peraturan) yang secara tegas menyatakan perang terhadap narkoba. Penerapan kearifan lokal seperti itu mendukung program desa bersih dari narkoba (Bersinar).