JAKARTA, KOMPAS – Tindak lanjut kasus pidana pemilu membutuhkan koordinasi antarlembaga yang terlibat agar peran masing-masing instansi dapat berjalan secara optimal. Selain itu, pola penindakan yang seragam juga menjadi hal penting agar penyelesaian perkara dapat dilakukan sebelum tenggat waktu.
Hal tersebut menjadi nilai penting yang dibicarakan oleh ketiga perwakilan lembaga yang akan bekerja sama dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) selama Pemilihan Umum berlangsung, yaitu Ratna Dewi Pettalolo mewakili Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Asisten Staf Perencanaan dan Anggaran Irjen Gatot Edy Pramono mewakili Polri, dan Jaksa Agung Tindak Pidana Umum Noor Rochmad dari Kejaksaan Agung di Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Sentra Gakumdu pada Rabu (5/12/2018) malam di Jakarta.
Turut hadir dalam acara tersebut adalah Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Djoko Susanto, dan perwakilan dari partai politik peserta Pemilu 2019.
Menurut Ratna, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur cukup banyak konsep-konsep baru, terutama dalam penyelesaian kasus tindak pidana pemilu. Beberapa rumusan pikiran dalam UU Pemilu masih ada yang bersifat abstrak dan terbuka. Hal ini dapat berakibat adanya penafsiran berbeda antar lembaga tentang satu topik, termasuk tindak pidana pemilu.
Untuk mengatasi hambatan tersebut, Bawaslu, Polri, dan Kejaksaan Agung perlu menyamakan pemahaman mereka mengenai apa yang dimaksud dengan tindak pidana pemilu. Penentuan fakta hukum yang ada melihat dari tiga faktor yaitu perbuatan, peristiwa, dan keadaan hukum saat peristiwa terjadi.
Ratna menambahkan, pihaknya telah menggelar pertemuan rutin dengan Polri dan Kejaksaan Agung dalam rangka menyatukan pemahaman ketiga instansi ini terhadap bermacam-macam topik seputar tindak pidana pemilu. Selain itu, Bawaslu juga melakukan pelatihan internal kepada anggotanya agar memahami peran yang akan diambil oleh Bawaslu.
Hal tersebut juga diamini oleh Gatot. Ia mengatakan, sebenarnya penegakan hukum terhadap kasus pidana pemilu telah dilakukan sejak lama. Perbedaan yang mencolok pada tahun ini adalah adanya sistem satu pintu dalam penanganan tindak pidana tersebut. Menurutnya, hal ini akan mempermudah koordinasi dan komunikasi antar lembaga agar tidak terjadi kesalahan informasi.
Kepolisian menyiapkan sekitar 4.500 penyelidik dan penyidik yang dipersiapkan khusus untuk menghadapi tahun politik. Mereka telah dilatih oleh Polri dan Bawaslu terkait prosedur penindakan kasus pemilu. Anggota polisi yang terpilih dalam satuan tugas ini juga dibebastugaskan dari dinas asal mereka agar dapat fokus menangani pidana pemilihan secara optimal.
“Anggota yang terpilih sudah kami pastikan adalah orang-orang yang berintegritas tinggi dan selama mereka bertugas tidak pernah mendapat hukuman disiplin,” tutur Gatot.
Sementara Rochmad mengungkapkan jenis tindak pidana pemilu pada dasarnya tidak terlalu berbeda penanganannya dengan kasus kriminal lain. Jaksa tetap memerlukan barang bukti untuk menindak pelaku yang terlibat.
Kejaksaan Agung menugaskan jaksa-jaksa yang minimal telah bekerja selama dua tahun dan pernah terlibat dalam penanganan kasus serupa. Hal ini penting agar jaksa tidak perlu memulai dari awal lagi untuk mempelajari jenis-jenis tindak pidana pemilu. Sama dengan Polri, jaksa yang dimasukkan ke dalam gugus tugas Sentra Gakumdu akan dilepaskan dari tanggung jawab mereka sehari-hari.
“Mungkin untuk beberapa daerah yang kekurangan tenaga, mereka juga masih akan melakukan tugas mereka sehari-hari. Kami juga sudah melakukan in house training untuk jaksa kami selama beberapa bulan terakhir. Harapannya, mereka akan semakin siap dalam menyelesaikan perkara pidana pemilu,” tambahnya.
Ratna menambahkan, kesamaan pola pikir dan koordinasi yang baik antar instansi yang terlibat akan memunculkan satu pola penindakan yang disetujui oleh pihak-pihak yang terlibat. Ia menyadari dalam penanganan beberapa perkara, terdapat perbedaan pendapat terkait tindakan yang termasuk dalam pidana pemilu.
Hal seperti ini tidak boleh terjadi. Penanganan masalah yang berbeda-beda dapat mengakibatkan terbuangnya waktu penyelidikan dan penyidikan yang penting. Waktu pengerjaan perkara pidana pemilu pada setiap lembaga telah diatur dalam UU Pemilu. Bawaslu memiliki waktu 14 hari, kemudian berlanjut ke Kepolisian yang akan menyelidiki dugaan selama 14 hari.
Setelah itu, kasus akan dilimpahkan ke Kejaksaan yang memiliki batas waktu lima hari untuk menyelesaikan tugasnya sebelum perkara tersebut akan diputus pada pengadilan dalam waktu tujuh hari.
“Kami telah mengeluarkan buku saku yang berisi pola penyelesaian pelanggaran tindak pidana pemilu sebagai pedoman untuk petugas, peserta pemilu, dan masyarakat dalam mengawal proses pemilihan tahun depan,” pungkasnya.
Sementara itu, Djoko menyambut baik adanya sistem terpadu dalam penanganan masalah pidana pemilu. Dirinya berharap, implementasi penanganan dapat dilakukan sesuai standar dan praktik kerja yang telah ditentukan. (LORENZO ANUGRAH MAHARDHIKA)