Guru Diajak Membuat Rangkaian Materi Pelajaran Padat
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
BADUNG, KOMPAS - Materi pelajaran dan pelatihan dalam jaringan kini dituntut untuk tampil ringkas, padat, dan menarik. Guru-guru tidak hanya harus bisa membuat konten yang tepat sasaran, tetapi juga pandai mengemasnya agar tidak membosankan.
"Materi yang paling banyak diminati siswa dan mahasiswa sekarang adalah dalam bentuk video. Mereka sudah jarang yang mau membaca terlalu lama karena jenuh," kata Kepala Subdirektorat Pembelajaran Khusus Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Uwes Anes Chaerumam dalam Simposium Internasional Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh 2018 di Badung, Bali, Rabu (5/12/2018).
Video-video yang diminati oleh siswa umumnya berdurasi di bawah lima menit. Bahkan, menurut Anes, lima menit saja sudah terlalu lama dan berisiko membuyarkan konsentrasi.
Dalam pemaparannya, ia menjelaskan cara membagi sebuah topik pembahasan menjadi beberapa video berseri. "Tantangan utama ialah masih banyak guru yang memiliki pola pikir lama. Mereka terlalu banyak memakai waktu untuk menjelaskan definisi sebuah fenomena dari berbagai teori. Semestinya, definisi bisa dijelaskan seiring dengan pemberian contoh kasus," tutur Anes.
Kelas "terbalik"
Metode tersebut dinamakan kelas terbalik (flipped class). Hal ini karena di pembelajaran konvensional, guru menjelaskan teori dan memberi materi di ruang kelas. Siswa kemudian diminta mengerjakan tugas ketika berada di rumah yang kemudian dikumpulkan di kelas untuk dinilai oleh guru.
Adapun pada kelas terbalik, guru memberi materi pelajaran yang dikemas sedemikian rupa menjadi subtema-subtema ringkas dan padat untuk dipelajari oleh siswa di rumah. Ketika mereka masuk kelas di hari berikutnya, kegiatan dipenuhi dengan praktikum dan diskusi yang bersifat pengayaan. Metode ini memungkinkan guru mengamati langsung kemampuan siswa menerapkan pengetahuan yang baru mereka pelajari.
Meskipun begitu, dosen Program Magister Pendidikan Universitas Pelita Harapan (UPH) Rijanto Purbojo menekankan bahwa belajar mandiri di rumah tidak berarti siswa dilepas begitu saja. Guru tetap harus memberi pembekalan mengenai cara membaca dan memahami materi serta menjelaskan aturan tata krama membahas materi di media sosial kelas tersebut.
"Mayoritas siswa Indonesia pasif di ruang kelas. Mereka enggan bertanya dan mengemukakan pendapat. Namun, di media sosial mereka nyaman berekspresi" kata Rijanto yang juga Kepala Bagian Teknologi Pendidikan UPH.
Guru hendaknya memanfaatkan media sosial tidak sekadar untuk berbagi materi pelajaran, akan tetapi juga untuk berdiskusi ilmiah. Inisiatif diskusi harus datang dari guru dengan cara melemparkan pertanyaan mengenai salah satu titik fokus materi yang dibahas. Siswa kemudian dipancing agar memberi komentar, bertanya, dan mengungkapkan pendapat. Termasuk para siswa yang dinilai kurang aktif di kelas.
Rijanto memaparkan, keaktifan siswa berdiskusi ilmiah di media sosial juga dihitung dalam penilaian kompetensi siswa. Hal ini lebih efektif daripada sekadar menilai siswa berdasarkan absensi kehadiran, tetapi tidak melihat kemampuan mereka menyerap pelajaran di kelas dalam setiap pertemuan.
Salah satu contoh guru yang menerapkan cara ini ialah guru mata pelajaran pembuatan produk di SMKN 2 Sewon, Yogyakarta, Arifah Suryaningsih. Ia memanfaatkan aplikasi Whatsapp untuk membuat grup berbagi materi pelajaran dan membahasnya bersama siswa dalam diskusi ilmiah yang aktif dan terarah.
Ia menuturkan, memang butuh waktu untuk mengajak siswa dari sekadar menyapa dan mengirim acungan jempol atau pun emoji hingga bisa menanggapi topik pembelajaran secara serius. Konsekuensinya, ia harus mencatat tabiat setiap siswa untuk melihat keaktifan mereka di grup Whatsapp maupun di kelas.
"Guna memastikan siswa benar menyerap materi pelajaran, saya juga sering mengadakan kuis dadakan. Bentuknya berupa pertanyaan yang diajukan ke siswa. Umumnya saya lakukan ketika baru masuk kelas dan ditanyakan kepada siswa yang di hari sebelumnya kurang aktif di kelas maupun di media sosial," ujar Alifah
Tularkan ilmu
Sementara itu, dari segi peningkatan kompetensi guru berbasis daring, Guru Besar Teknologi dan Inovasi Pembelajaran Universitas Pendidikan Hong Kong, Lim Cher Ping menekankan pentingnya ada kebijakan guru yang sudah mengikuti pelatihan harus menularkan ilmu kepada rekan-rekan yang belum sempat ikut.
"Di Hong Kong misalnya, satu guru menyosialisasikan hasil pelatihan yang ia ikuti kepada 25 rekannya. Hal ini memastikan keadilan sebaran informasi kepada guru-guru yang tidak mengikuti pelatihan itu," ujarnya.
Sistem ini, lanjut Lim, juga membentuk pribadi guru menjadi pembelajar seumur hidup. Hanya guru pembelajar yang akan bisa mendidik siswa menjadi pembelajar juga.