JAKARTA, KOMPAS - Sektor swasta menjadi pelaku tindak pidana korupsi terbanyak kedua setelah anggota DPR dan DPRD. Hal ini membuat upaya pencegahan korupsi membutuhkan komitmen penuh pihak swasta.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif mengatakan, tindak pidana korporasi menjadi isu krusial belakangan ini karena kasus korupsi masih didominasi sektor swasta. Komitmen korporasi dibutuhkan agar pihak swasta memahami area rawan korupsi dan upaya pencegahannya.
”Banyak sekali korporasi dijadikan alat menyembunyikan korupsi. Tindak pidana pencucian uang juga banyak. Rasanya tidak adil, KPK sudah menindak (korporasi), tetapi tak ada panduan bagi korporasi agar tidak terjerembap hal-hal yang dilarang undang-undang,” ujar Laode dalam konferensi pers peluncuran buku Panduan Pencegahan Korupsi untuk Dunia Usaha di Jakarta, Rabu (5/12/2018).
Acara tersebut dihadiri Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan; ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Rimawan Pradiptyo; Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rahmat Junaedi; serta mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein.
Berdasarkan data KPK per September 2018, ada empat perusahaan yang ditangani KPK berkait tindak pidana korupsi. Namun, apabila ditelaah lebih jauh lagi berdasarkan jabatannya, pihak swasta masuk dalam posisi dua besar.
Jabatan-jabatan itu meliputi anggota DPR dan DPRD (229 orang), pihak swasta (214 orang), pejabat eselon I-III (192 orang), serta wali kota/bupati dan wakilnya (91 orang).
Menurut Laode, kehadiran buku panduan memang tidak menjamin korupsi di sektor swasta akan hilang. Namun, setidaknya kesadaran mencegah korupsi di korporasi sudah terbangun, baik dari pimpinan perusahaan maupun pekerja di lapangan.
Rimawan menekankan, pemberantasan korupsi di sektor swasta menjadi hal krusial. Berdasarkan data Laboratorium Ilmu Ekonomi dan Bisnis UGM, total nilai korupsi di Indonesia pada 2001-2015 mencapai Rp 203,6 triliun. Sebanyak 59 persen di antaranya atau Rp 119,7 triliun berasal dari swasta.
”Ini masalah krusial karena fakta korupsi paling berat di swasta, apakah itu penggelapan atau penyuapan. Kalau korupsi swastanya sendiri itu belum. Dampaknya akan semakin besar kalau itu dihitung,” ujarnya.
Tetap diproses
Yunus menegaskan, korporasi seharusnya bertanggung jawab jika ada pegawai atau pejabat korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi (vicarious liability). Hal itu disebabkan sering kali ada oknum yang sengaja memberikan sejumlah uang untuk memecah kebuntuan yang terjadi dalam menjalankan usaha. Hal tersebut juga telah diatur dalam Pasal 7 United Kingdom Bribery Act 2010.
”Kalau anak buah menyuap, nanti akan dilihat ada hubungan kerja atau tidak? Di Indonesia, banyak seperti itu. Anak buah disuruh bos menyuap pakai uang korporasi,” kata Yunus.
Seharusnya perusahaan menerapkan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Tata kelola perusahaan meliputi tiga hal, yakni pengendalian internal (internal control), manajemen risiko (risk management), dan kepatuhan (compliance). ”Jadi tolonglah berpikir. Berbisnislah dengan beretika,” ujar Yunus.
Sementara itu, Rahmat mendorong setiap perusahaan segera mengimplementasikan panduan pencegahan korupsi di dunia usaha. Meski demikian, tantangannya ke depan adalah mengintegrasikan nilai-nilai itu hingga tingkat bawah.
”Memang pekerjaan rumahnya, perusahaan nanti bisa mengaplikasikan hingga ke level bawah,” ujar Rahmat.