Sepasang tangan menggenggam lingkaran besi kursi roda yang ia duduki. Pemiliknya tersenyum menyapa tamu datang di tempat tinggalnya tiga tahun terakhir, Panti Panti Dinas Sosial Loka Bina Karya Pondok Bambu, Jakarta Selatan. Di sana, Rubini (38) tinggal bersama puluhan penghuni lain ini dengan fasilitas yang nampak sederhana.
Selasa (4/11/2018) siang itu, membuat kain cempal untuk mengangkat panci panas. Hari itu, ia telah membuat belasan kain bermotif ayam di tengah kesunyian panti. Rubini dan teman-teman paraplegia, penderita penurunan motorik atau fungsi sensorik gerak tubuh, berjuang mencari penghidupan layak. Ada yang mencari penghasilan dengan membuat kerajinan tangan, menjadi atlet, dan atau menjual makanan.
Selain membuat kerajinan, Rubini menjadi atlet boling untuk mendapat penghasilan. Untuk mengejar keinginan ini, ia membeli motor modifikasi roda tiga sendiri. Keterlibatannya di olahraga boling berawal dari ajakan teman-temannya. Ketekunannya berbuah manis, dia berhasil meraih medali emas pertama kategori Duble Mix di Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas) XV 2016 Riau. Ia juga mendapat medali perak dan perunggu pada pertandingan berikutnya dengan hadiah Rp 203 juta. Namun, uang itu harus disisihkan 15 persen untuk National Paralympic Committee (NPC) dan penyalur atlet 10 persen.
Ia memakai uang hadiah itu untuk membangun rumah di Kebumen dan membeli motor yang sudah menjadi mimpinya sejak awal. Tinggal di rumah yang tidak lagi bocor bagian atapnya dan tidak terbeban biaya kontrak akhirnya bisa dipenuhi. Baginya, menjadi atlet adalah hal yang paling mungkin dilakukan untuk mendapat penghasilan.
"Kalau tidak ada pertandingan biasanya saya juga buat kue saat lebaran atau natal untuk dijual," ujarnya, Selasa (4/11/2018). Dari berjualan kue tersebut, keuntungan yang diperoleh bisa mencapai Rp 1 juta untuk masing-masing orang.
Sementara itu, untuk daftar dalam Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tidak memungkinkan bagi paraplegia. Mereka mengalami mati rasa terhadap tubuh bagian pinggul sampai ke bawah. Hal ini yang membuat paraplegia tidak bisa duduk terlalu lama karena bisa mengakibatkan decubitus, yaitu kerusakan kulit akibat kekurangan aliran darah dan iritasi pada kulit bagian pantat.
“Kencing itu tidak berasa, makanya kami mengatur asupan air jika berkegiatan di luar. Kalau kelamaan duduk buat kerja kantoran pegal. Biasanya, punggung terasa sakit tandanya harus istirahat,” jelasnya.
Lebaran tahun 2015 merupakan titik terendah bagi Rubini. Perempuan asal Kebumen, Jawa Tengah itu mengalami kecelakaan yang membuatnya lumpuh dan hidup dengan kursi roda. Juli 2015, saat Rubini dalam perjalanan ke pasar, sebuah pohon kelapa tiba-tiba tumbang dari sisi kanan dan menimpa mikrolet yang ditumpanginya. Rubini yang duduk di posisi tengah belakang sopir mendapat luka paling parah.
Diolok
Hidup dalam kondisi fisik yang berbeda dengan orang pada umumnya bukan hal mudah. Watini (32), perempuan asal Purbalingga ini lumpuh sejak bayi. Saat berusia 40 hari, ia demam yang kemudian diketahui ternyata terkena virus polio. Kondisi ini kemudian menjadi bahan olok-olok temannya ketika ia duduk di Sekolah Dasar (SD) dengan sebutan kambing. Saat itu, ia belum mempunyai kursi roda sehingga untuk bergerak kemana-mana Wati harus merangkak. Pantatnya ditepok diiringi dengan seruan kata embek-embek teman-temannya.
"Dipanggil suster ngesot pernah," katanya sambil mengenang. Hal itu terjadi saat ia menjadi guru mengaji di sebuah Taman Pendidikan Alquran (TPA). Namun, hal itu ternyata tidak selamanya berbuah buruk. Selama hampir satu tahun menjadi guru ngaji, murid-murid TPA tersebut menghormatinya dan semakin akrab. "Waktu saya mau pergi untuk tinggal di panti, mereka memohon agar saya tetap tinggal," kata Wati.
Wati kemudian tinggal bersama Rubini dan teman-teman lainnya di Panti Dinas Sosial Loka Bina Karya Pondok Bambu, Jakarta Selatan yang mayoritas merupakan paraplegia. Selama di panti, Wati biasanya berjualan keripik. Ia datang ke pedagang di pasar untuk bantu jual keripiknya dan ngambil untung Rp 2.000 tiap bungkus.
"Sehari bisa jual 15 bungkus, tapi kalo sisa ya dijual besoknya lagi," ungkapnya.
Uang hasil jualan tersebut biasanya ia gunakan untuk beli bedak, baju, dan kebutuhan lain di luar kebutuhan sehari-hari seperti orang lain. Untuk makan, kebutuhan mandi, dan cuci sudah disediakan oleh panti.
Di sudut lain panti itu, terlihat seorang lelaki paruh baya duduk tenang di atas kursi roda. Jari-jemari tangannya berkutat dengan pisau tipis kecil dan kertas. Sumardi (50), penyandang disabilitas yang memenuhi kebutuhan hidupnya dengan membuat kerajinan tangan. Ia membuat kartu ucapan bentuk tiga dimensi dari pola kain batik atau pun gambar cetak.
Gambar atau motif yang digunakan, diambil dari kain batik yang kemudian digunting sesuai pola. Pola tersebut ditempelkan pada kertas yang ditumpuk tiga hingga empat lapis sehingga menghasilkan efek tiga dimensi. Keterampilan tangan dan kejelian mata menjadi modal utama untuk menghasilkan kartu ucapan yang apik. "Satu kartu dijual Rp 10.000 beserta amplopnya," kata Sumardi.
Sumardi hanya bisa membuat dua sampai tiga kartu per hari. Itu pun tak bisa tiap hari. Kondisi fisik tidak memungkinkannya bekerja lebih lama. Jadi, paling banyak, ia hanya bisa menghasilkan kurang dari Rp 900.000 per bulan.
Nilai uang tak seberapa dibanding upah minimum Provinsi DKI Rp 3,6 juta per bulan. Tetapi bagi Sumardi sangat berarti. Ia menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan biaya transportasi. Ia butuh biaya transportasi lebih dibandingkan orang pada umumnya karena,angkutan umum yang terjangkau belum sepenuhnya ramah padanya.
Sebagian penghasilannya kadang ia kirim ke keluarga di kampung yang lama ia tinggalkan. Dengan cara itu, hidupnya merasa lebih berarti. (Fransisca Anggraeni)