JAKARTA, KOMPAS — Sejarah menjadi tema sentral dalam pameran seni rupa kontemporer exi(s)t #7 ”From the Another Time” di Dia.Lo.Gue Artspace, Kemang, Jakarta Selatan, yang dibuka pada Kamis (6/12/2018). Pameran yang berlangsung dari 6 Desember 2018 hingga 13 Januari 2019 ini memberi ruang tafsir seluas-luasnya kepada delapan seniman muda yang terlibat atas ”sejarah yang lain”.
Kurator pameran Evelyn Huang mengatakan, ”sejarah yang lain” adalah tema yang mencoba merespons kondisi sosial politik hari ini. Untuk politisi yang sering muncul di ruang publik, misalnya, menarasikan sejarahnya masing-masing sebagai amunisi untuk memengaruhi massa.
”Nah, dalam konteks itu, kami ingin melihat sejauh mana seniman muda yang berusia kurang dari 30 tahun ini memiliki keterkaitan dengan sejarah, bagaimana mereka menerapkan itu dalam karya, dan wacana apa yang ingin mereka sampaikan,” kata Evelyn yang dalam kerja kuratorial bertandem dengan Stella Katherine.
”Massa adalah penentu sejarah,” kata Stella mengutip pernyataan Bung Karno, 29 Juli 1956, di Semarang.
Dia mengatakan, pameran ini mengajak seniman ataupun mereka yang menonton untuk sejenak menengok masa silam. ”Siapa tahu ada kegagalan masa lalu yang harus kita perbaiki sekarang. Atau malah ada kearifan lokal yang berguna bagi masa kini,” katanya.
Karya seniman muda yang semuanya beraktivitas di Jakarta ini beragam, Mulai dari yang mudah dipahami hingga bikin kening berkerut.
Tandika Cendrawan menggugat sejarah masa silam yang pernah melarang penggunaan nama-nama China melalui instalasi foto. Foto orang-orang China Bangka, kampungnya, yang pernah mengganti nama dipajang di dinding. Bagi Tandika, nama adalah wujud keragaman yang harus dipelihara. Itu tergambar dalam dua buku merah di instalasi foto miliknya: ”Usia Sebuah Nama Melebihi Nafas”.
Alexandra Karyn tidak membentangkan sejarah terlalu jauh. Bagi lulusan Seni Murni salah satu universitas di Inggris ini, sejarah bersifat aktual. Sejarah selalu soal kehadiran. ”Sekarang kota ngobrol, sepuluh atau dua puluh menit lagi akan jadi sejarah,” kata seniman yang membuat karya berwujud ”koran” ini.
Karya Karyn yang berjudul ”Index” merupakan sejumput tulisan yang ditulisnya selama masa inkubasi. Para seniman yang mengikuti exi(s)t #7 dikarantina sejak bulan Juni. Dalam masa itu, mereka menghadiri lokakarya, diskusi, dan presentasi untuk membuat karya.
”Index bercerita tentang interaksiku bersama seniman lain,” kata Karyn. Koran Karyn teronggok di beberapa titik di ruang pameran. Jika tak jeli, pengunjung akan menyangka ini koran biasa. Medium koran dipilih karena sifatnya yang faktual dan erat kaitannya dengan interaksi publik.
Selain mereka berdua, ada Yovista Ahtajida dengan judul karya ”Nasyid Goes Punk I”; kolaborasi Indira Larasati dan Aditya Martodiharjo, ”In 1883 the Sky Was A Mixture of Red and Blue”; Shercle dengan ”Chicken, A Worm, and A Giant Squid Walked, Into A Gallery”. Ada juga Aziz Amri dengan Jardin Zoologique D’Acclimatation, Rummana Yamanie dengan The Flaming Womb, dan Ella Wijt dengan ”Bumi Dunia 2.0: Saksi Bisu”.
”Saya melihat sisi lain sejarah berupa mitos-mitos yang diceritakan oleh tetangga saya di Depok. Mitos-mitos itu terus diturunkan,” kata Ella.
Ella menampilkan seorang lukisan perempuan telanjang yang dililit ular. Selain itu, ada material berupa batu-batu yang diletakkan di atas meja. Sebelum bermukim di sana, banyak tetangganya mengatakan bahwa tanah yang dihuni sekarang banyak ularnya. Di samping itu, sering terdengar perempuan menangis setiap malam. Bukannya takut mendengar cerita itu, ia malah mendeskripsikannya dalam bentuk gambar.
Exi(s)t sudah memasuki tahun ketujuh. Ini merupakan program tahunan Dia.Lo.Gue Artspace.
Perupa FX Harsono sekaligus penyelenggara program mengatakan, pameran ini adalah panggung seniman muda yang belum masuk dalam lingkar utama seni kontemporer di Indonesia.
”Setiap tahun, ada 70-100 orang yang mendaftar dalam panggilan terbuka,” kata Harsono. (INSAN ALFAJRI)