Angin Segar Pelestarian Wayang Topeng Malangan
Di era digital, ketika anak-anak dimanjakan dengan gadget sebagai mainan mereka, masih ada anak-anak yang juga tertarik belajar tari topeng malangan. Hal ini menimbulkan optimisme regenerasi wayang topeng berjalan terus.
Tubuh Adi (7) paling kecil di antara belasan penari yang tengah berlatih tari topeng malangan di Padepokan Asmorobangun, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Minggu (18/11/2018). Di sekelilingnya, puluhan anak berbagai usia-- didampingi orangtua--bergeming menyaksikan.
Usai beraksi, dengan gestur tubuh malu, siswa kelas 1 sekolah dasar asal Desa Bendo, Pakisaji, itu mengatakan senang bisa berlatih menari. Alasannya sederhana, di padepokan banyak teman yang ikut belajar menari.
Sejumlah anak belajar menari di padepokan yang berada di Dusun Kedungmonggo, Desa Karangpandan, Kecamatan Pakisaji, Malang itu. M Syahrul Fauzi (12), misalnya, sudah dua tahun ini belajar tari topeng malangan di sana. Siswa kelas 6 SD Glanggang ini belajar menari bersama sang adik, Norin Fauziah Rukmana, yang duduk di bangku kelas 2 SD.
“Awalnya diajak ibu ke sini. Melihat anak-anak lain belajar menari, kemudian ikut-ikutan dan senang. Belajar menarik sama dengan ikut melestarikan budaya,” kata Fauzi sambil memainkan telepon pintarnya.
Fauzi telah beberapa kali ikut pentas resmi, baik di padepokan, sekolahan, hingga di balai desa tempatnya tinggal pada saat acara bersih desa.
Sedangkan A Husada Syafii (12) mengikuti langkah kakaknya, Rika Dwi Arianti (kelas 2 SMP) belajar menari di Padepokan Asmorobangun.
Fauzi dan Syafii tidak malu belajar menari yang seringkali diidentikkan dengan aktivitas anak perempuan. Di hatinya hanya ada satu jawaban. “Cuek saja,” ucap mereka hampir serempak.
Saat itu, Fauzi dan Syafii tengah istirahat seusai latihan. Ada beberapa jenis koreografi yang dipelajari siang itu, di antaranya tari sabrang pendek, sabrang panjang, dan beskalan. Saat beristirahat itulah, Fauzi dan Syafii memilih mojok dan mencuri kesempatan untuk bermain telepon selular. Maklum, selama berlatih para siswa dilarang bermain gadget.
Ada pula Heri Septian Yanuar (10) yang baru tiga kali ikut belajar menari wayang topeng malangan. Septian tidak hanya belajar tari, tetapi juga mempunyai kegiatan yang lain di sekolah, seperti pramuka, marching band, dan karate. Ny Sutik (61), ibu Heri gembira dengan kegiatan baru anaknya itu. Di tengah terpaan perkembangan teknologi komunikasi anaknya masih menyukai seni tradisional.
Animo besar
Besarnya animo anak-anak dalam menggeluti seni tradisi menjadi angin segar untuk pelestarian wayang topeng Malangan. Sang Empunya padepokan, Tri Handoyo, mengatakan, jumlah total siswa yang belajar menari saat ini sekitar 130 orang, mulai dari usia pendidikan anak usia dini hingga mahasiswa.
Jumlah tersebut belum termasuk mereka yang sudah profesional. “Yang profesional tidak lagi berlatih. “Namun begitu ada pentas mereka sudah siap untuk langsung beraksi,” tutur Handoyo yang siang itu juga meluangkan waktunya melayani sejumlah mahasiswa di Malang yang tengah menyelesaikan skripsi dan film dokumentasi soal wayang topeng malangan.
Menurut Handoyo, metode pengajaran seni wayang topeng yang pas menjadi salah satu faktor penyedot minat anak-anak untuk berlatih yang pada akhirnya menyenangi. Mereka belajar menari sesuai tingkatan umur, tidak dipukul rata. Selain itu, para siswa belajar secara cuma-cuma.
Handoyo yang merupakan cucu dari maestro topeng Mbah Karimun, pendiri padepokan, membantah anggapan bahwa anak-anak ini hanya berlatih tari secara temporer (tidak berkelanjutan). Ada siswa yang belajar menari sejak dari TK sampai kelas VI SD.
Masih tingginya animo anak muda dalam belajar tari topeng malangan juga terjadi di Padepokan Mangun Darma di Dusun Kemulan, Desa Tulus Besar, Kecamatan Tumpang, yang berjarak lebih dari 25 kilometer di sisi timur Kedungmonggo. Jika tari topeng di Kedungmonggo disebut-sebut bergaya subarea Kawi-Kendeng (Malang barat), maka di Kemulan bergaya subarea Tengger-Semeru (Malang timur).
Sang maestro sekaligus pendiri Padepokan Mangun Darma M Soleh Adipramono (67) atau Ki Soleh menuturkan, jumlah muridnya saat ini mencapai 600 orang. Mereka tidak hanya belajar menari tetapi juga seni yang lain, di antaranya kuda lumping, bantengan, pedalangan, hingga karawitan.
Selain cantrik (siswa) yang belajar langsung, ada juga mahasiswa dan akademisi dari luar daerah dan luar negeri yang melakukan riset tentang tarian ini. Ki Soleh optimistis wayang topeng malang akan tetap lestari. Regenerasi wayang topeng berjalan terus.
Akademisi pada Jurusan Seni Tari dan Musik, Universitas Negeri Malang, Robby Hidayat, mengatakan, dibanding satu-dua dasawarsa lalu, animo anak muda untuk mengenal dan belajar tari topeng atau wayang topeng malangan saat ini jauh lebih tinggi.
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab, antara lain adanya kegiatan ektrakurikuler di sekolah dan banyaknya pentas wayang topeng di masyarakat.
“Sekolah-sekolah memasukkan tari topeng dalam kegiatan ekstra. Karena secara teknis sumber daya manusianya tidak mampu, maka para siswa didorong masuk ke sanggar atau padepokan tari,” ujarnya.
Begitu pula dengan perguruan tinggi. Dulu perguruan tinggi belum ada. Sekarang perguruan tinggi sudah masukkan materi topeng jadi mata kuliah.
“Pentas juga makin banyak, baik oleh instansi pemerintah maupun swasta. Sehingga para calon penari makin semangat. Mereka berpikir ke depan ada peluang untuk menjadi penari profesional,” tuturnya.
Menurut Robby, perkembangan teknologi sejauh ini tidak menggerus upaya pelestarian wayang topeng malangan. Keyakinan serupa diyakini Handoyo.
Menurut Handoyo keberadaan teknologi justru mendukung siswa dalam berlatih menari. Mereka sering belajar menari dari Youtube dan mengunggah aktivitas menari ke media sosial sebagai tempat di mana mereka mendapatkan apresiasi langsung dari teman-temannya.