Ketika Pakistan merdeka pada 14 Agustus 1947, wilayah itu terbagi atas Pakistan Barat dan Pakistan Timur yang mayoritas warganya berbahasa Bengali.
Konflik di dalam negeri diawali hasil Pemilu 1971 yang dimenangi oleh partai di Pakistan Timur, Liga Awami, yang menuntut otonomi lebih besar. Akan tetapi, peluang itu kandas oleh langkah militer dan politisi di Pakistan Barat.
Liga Awami lalu mengampanyekan pembangkangan sipil yang mendorong otoritas Pakistan menerjunkan ribuan tentara ke wilayah itu. Pada 25 Maret 1971, tentara menyerang Liga Awami dan tokoh-tokoh oposisi lainnya, termasuk komunitas Hindu. Menurut BBC, salah satu kekejaman yang dilakukan tentara Pakistan adalah menyerang Universitas Dhaka serta mengeksekusi mahasiswa dan dosen.
Kekerasan meluas ke desa-desa dan perlawanan warga Bengali dipatahkan oleh militer. Setelah situasi dinilai ”terkendali”, militer mengundang sejumlah reporter Pakistan untuk mengunjungi wilayah Timur. Seorang jurnalis Pakistan, Anthony Mascarenhas, menuliskan kekejaman yang dilakukan militer Pakistan terhadap warga Bengali dalam berita berjudul ”Genocide” di The Sunday Times (13 Juni 1971). Laporan Mascarenhas mengubah sejarah karena menarik perhatian komunitas internasional atas situasi di Pakistan Timur.
Pada Desember 1971, PM India Indira Gandhi mengirimkan pasukan militer ke Pakistan Timur dan bersama gerilyawan Bengali melawan tentara Pakistan. Sekitar 10 juta warga Bengali mengungsi ke India. Tentara Pakistan menyerah di Dhaka, dengan sekitar 90.000 orang di antaranya menjadi tahanan perang.
Pakistan Timur mendeklarasikan kemerdekaannya dengan nama Bangladesh pada 26 Maret 1971. Bhutan menjadi negara pertama yang memberi selamat atas kedaulatan Bangladesh pada 6 Desember 1971, disusul India 6 jam kemudian. Sampai saat ini tak ada yang tahu persis jumlah warga Bengali yang tewas dalam perang saudara itu, tetapi sejumlah peneliti independen memperkirakan korban tewas antara 300.000 dan 500.000 orang. (MYR)