Jajanan Beracun Mengintai Anak
BEKASI, KOMPAS - Keracunan yang menimpa siswa SD di Bekasi menguak kenyataan bahwa pengawasan pangan jajanan anak sekolah tidak berjalan.
Delapan murid Sekolah Dasar Negeri Pengasinan II, Kecamatan Rawalumbu, yang mengalami keracunan makanan menguak kenyataan bahwa pengawasan pangan jajanan anak sekolah tidak berjalan. Berbagai jenis makanan dijual bebas tanpa pengawasan dari pihak sekolah.
Kepala Subbagian Humas Kepolisian Resor Metro Bekasi Kota Komisaris Erna Ruswing Andari, Kamis (6/12/2018), mengatakan, penyelidikan kasus keracunan yang menimpa delapan siswa SDN Pengasinan II, Rawalumbu, Kota Bekasi, terus berlanjut. Pihaknya telah menyita barang bukti berupa muntahan dan sampel minuman kemasan untuk diperiksa di laboratorium. Beberapa saksi juga telah diperiksa, di antaranya penjual minuman kemasan dan pihak perusahaan produsen minuman tersebut.
Selain itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga mengambil sampel minuman tersebut untuk diperiksa. Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM Tetty Helfery Sihombing mengatakan, pengujian dilakukan pada dua ranah, yaitu pemeriksaan mikroba pada sampel minuman dan uji kimia untuk mengetahui zat yang terkandung pada air, batu es, dan peralatan yang digunakan untuk membuat minuman.
”Dari hasil uji laboratorium tersebut, kita akan mengetahui faktor apa yang paling dominan menyebabkan keracunan,” ujar Tetty. Pengujian membutuhkan waktu 4-5 hari.
Di samping menelusuri keracunan, BPOM memastikan keamanan minuman yang dijual di sekolah-sekolah memang penting. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan tentang pangan jajanan anak sekolah yang dipublikasikan pada 2014, produk minuman selalu ada pada kategori jajanan yang tidak memenuhi syarat.
Pada 2012, posisi tertinggi jajanan tidak memenuhi syarat ditempati oleh produk minuman es, disusul minuman berwarna dan sirup, bakso, dan jelly atau agar-agar. Sementara itu, pada 2013 jajanan tidak memenuhi syarat adalah minuman berwarna dan sirup, produk minuman es, jelly atau agar-agar, dan bakso.
Dari tahun ke tahun, penyebab utama jajanan tersebut tidak memenuhi syarat pun sama, yaitu terkait jumlah bakteri dan pemanis rendah kalori. Selain itu, kualitas mikrobiologi, jumlah bakteri coliform, dan penggunaan pewarna tekstil juga menyebabkan jajanan tidak laik dikonsumsi.
Evaluasi
Tetty menambahkan, sejak 2011 pihaknya telah menginisiasi Aksi Nasional Pangan Jajanan Anak Sekolah. Program berupa penyuluhan ke sejumlah sekolah dari jenjang dasar hingga atas agar memiliki kantin sehat. Periode 2011-2014, penyuluhan telah dilakukan pada 23.500 sekolah di 31 provinsi. Penyuluhan dilanjutkan pada 5.000 sekolah di 10 provinsi pada 2017, kemudian 5.000 sekolah lagi pada 2018.
Ia mengakui, cakupan program tersebut belum optimal. Jumlah sekolah yang mendapatkan penyuluhan baru sekitar 20 persen dari total sekolah yang ada secara nasional. Di samping itu, penyuluhan belum berdampak signifikan. SDN Pengasinan II, misalnya, merupakan salah satu yang sudah pernah mendapatkan penyuluhan dari BPOM.
”Kejadian ini menjadi catatan bagi kami untuk berkoordinasi dengan pemerintah setempat secara lebih intens agar persoalan pangan jajanan anak sekolah menjadi perhatian,” kata Tetty.
Selain penyuluhan, BPOM juga memberdayakan komunitas dan menerbitkan buku Pedoman Pangan Jajanan Anak Sekolah untuk Pencapaian Gizi Seimbang bagi orangtua, guru, dan pengelola kantin. Dalam pedoman tersebut, kepala sekolah diwajibkan membentuk tim keamanan pangan (TKP). Tim berperan mendata pedagang, menyosialisasikan keamanan pangan, memantau cara pengolahan dan penyajian pangan, serta mengupayakan perbaikan dengan memastikan pengelola kantin menggunakan peralatan yang baik dan sehat.
Akan tetapi, langkah-langkah tersebut tidak dilakukan. Di SDN Pengasinan II, Kecamatan Rawalumbu, Kota Bekasi, tidak ada kantin resmi. Sekolah hanya mengakomodasi beberapa pedagang kaki lima untuk berjualan di halaman belakangnya.
Beben, pedagang makaroni, mengatakan, meski pihak sekolah mendata identitas mereka, tidak ada pengujian apa pun sejak pertama kali berjualan. ”Kami diminta membayar iuran kebersihan Rp 5.000 per hari,” katanya.
Hingga Kamis malam, baik pihak Dinas Pendidikan maupun Dinas Kesehatan Kota Bekasi belum bisa dimintai tanggapan terkait pengawasan kantin dan keamanan pangan jajanan anak sekolah ini. (NIA)