Katowice, Aturan Bersama, dan Harapan yang Tersisa
Kesepakatan Paris adalah terobosan global. Epik. Besar-kecil, miskin-kaya, semua negara para pihak pada Kerangka Kerja PBB untuk Konvensi Perubahan Iklim, 196 pihak itu berkomitmen mengubah trayektori pembangunan menjadi pembangunan berkelanjutan.
Mereka sepakat menahan kenaikan suhu global di bawah 2 derajat celsius dan dengan upaya keras menjaga kenaikan suhu paling tinggi 1,5 derajat celsius, di atas suhu rata-rata di era pra-industri. Mereka juga sepakat meningkatkan kemampuan adaptasi dan ketahanan iklim.
Sebanyak 181 negara telah mencatatkan komitmen nasional pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) atau Nationally Determined Contributions (NDC) ke lembaga kerangka kerja konvensi perubahan iklim PBB (UNFCCC). Mereka menyerahkan NDC pertama mereka, dan baru satu negara, Kepulauan Marshall, telah memasukkan NDC kedua.
Di tengah semua skeptisisme akan tercapainya target Kesepakatan Paris, konferensi perubahan iklim Katowice akan merancang panduan implementasi Kesepakatan Paris. Aturan implementasi tersebut akan masuk dalam Program Kerja Kesepakatan Paris (Paris Agreement Work Program/PAWP).
Dalam NDC mereka, negara-negara para pihak dapat menentukan sendiri komitmen besarnya penurunan emisi, juga caranya, bahkan tahun rujukan.
Skema penurunan emisi kali ini menggunakan pendekatan baru yang tak lagi membedakan negara maju dan negara berkembang. Negara-negara para pihak diminta menurunkan GRK nasional secara sukarela sesuai kemampuan dan bergantung pada kondisi masing-masing.
Ini berbeda dengan skema Protokol Kyoto yang mewajibkan negara-negara maju mengurangi emisi GRK mereka rata-rata 5 persen dibandingkan dengan emisi tahun 1990.
Dalam Protokol Kyoto, 1997-2012, berlaku prinsip common but differentiated responsibilities (CBDR), sama tetapi berbeda tanggung jawab. Prinsip tersebut untuk membayar utang sejarah negara maju yang lebih dulu memicu emisi GRK di era industri sekitar 1,5 abad lalu. Protokol Kyoto diratifikasi 38 negara maju. AS dan Kanada ingkar dari pemenuhan janjinya.
Mengukur pencapaian Protokol Kyoto menjadi tidak mudah karena saat itu yang menjadi rujukan hanya emisi negara-negara maju. Tercapai tidaknya target Protokol Kyoto terbuka pada perdebatan karena sebagian mendapatkan angka dari membeli karbon dari penurunan di negara lain dan secara riil tidak terjadi penurunan di negara itu. Penurunan juga bisa dialamatkan pada krisis ekonomi tahun 2008.
Pada akhirnya secara global skema Protokol Kyoto dirasa tidak membantu penurunan signifikan. China sebagai pengemisi GRK utama dan India sebagai salah satu 10 pengemisi terbesar tidak masuk kelompok negara maju.
Sepuluh negara pengemisi terbesar telah menyumbang sekitar 70 persen emisi GRK global. Maka, tak ada pilihan lagi selain meminta semua negara berkontribusi dalam penurunan emisi. Itulah terobosan yang berpuncak pada Kesepakatan Paris.
Sayangnya, dari seluruh NDC yang diajukan, saat dihitung seluruhnya, total penurunan emisi GRK tak mencukupi untuk mencapai target Kesepakatan Paris, 1,5 derajat celsius atau 2 derajat celsius. Dengan total NDC sekarang, suhu bumi akan meningkat 3 derajat celsius -5 derajat celsius di akhir abad ini.
Kondisi ini diperburuk dengan keluarnya AS dari Kesepakatan Paris yang akan resmi pada 2020 mendatang. Hal lainnya, presiden Brasil terpilih tahun ini, Jair Bolsonaro, bertekad mengeksploitasi Hutan Amazon untuk peningkatan ekonominya. Brasil juga telah membatalkan diri sebagai tuan rumah COP-25 tahun depan.
Transparansi dan standardisasi
Nyaris tak ada negara yang berkeberatan menurunkan emisinya. Sebab, mereka dibebaskan untuk menentukan rujukan. Ini sesuai prinsip ”sesuai kapasitas dan tergantung pada kondisi masing-masing”.
Penentuan tahun sebagai rujukan penurunan emisi, pemilihan sektor, besar penurunan, serta durasi penurunan emisi semuanya diserahkan kepada masing-masing negara. Staf ahli perubahan iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI suatu ketika mengatakan, panduan NDC, ”Kan, hanya ’ambisius, jernih atau jelas, dan transparan’, tapi akhirnya setiap negara menerjemahkan semaunya.”
Hasilnya, terdapat program penurunan emisi dengan variasi sebanyak jumlah NDC yang terdaftar di UNFCCC. Negara-negara maju dengan penguasaan teknologi dan inovasi yang lebih maju daripada negara berkembang relatif dengan cepat mentransformasi diri.
Maka, konferensi di Katowice pekan ini adalah pertemuan kunci. Jika Katowice gagal, tak ada pula sukses Kesepakatan Paris. Konferensi perubahan iklim Pertemuan Para Pihak Ke-24 (COP-24) ini merupakan pertemuan krusial. Melalui perundingan dan negosiasi di Katowice, NDC yang beraneka ragam tersebut akan distandardisasi agar memiliki format yang sama.
Dengan adanya standar, pelaksanaan NDC untuk memenuhi Kesepakatan Paris akan lebih transparan. Perhitungan penurunan emisi global akan lebih transparan sehingga muncul rasa saling percaya pada kontribusi negara lain. Keberhasilan negara lain diharapkan bisa semakin bagus karena tiap-tiap negara ingin memberikan lebih baik, mendorong NDC menjadi lebih ambisius.
Pada momen di Katowice ini pula akan dilakukan pencatatan pra-2020 untuk melihat sejauh mana tingkat ambisi setiap negara. Pada kesempatan ini para pihak akan diminta menaikkan tingkat aksinya jika NDC-nya dinilai kurang ambisius.
Perhitungan sementara berdasarkan NDC yang ada saat ini hasilnya tidak menggembirakan seperti tertulis di atas. Maka negara-negara para pihak akan diminta merevisi NDC dengan menaikkan targetnya sebelum implementasi dimulai pada 2020.
Semua negara diharapkan menyusun NDC kedua untuk meningkatkan ambisi. Komitmen pada NDC juga harus dibarengi dengan berbagai persiapan agar pada saatnya nanti semua telah siap. Persiapan meliputi kebijakan, kelembagaan, pendanaan, dan bentuk kegiatan, dan sebagainya.
Indonesia dan NDC
Indonesia sendiri menyampaikan NDC-nya yang menargetkan penurunan emisi 26 persen dengan kekuatan sendiri dan menurunkan 41 persen dengan bantuan dari luar.
Ketika banyak negara mengalami hambatan dalam menurunkan emisi, Indonesia memiliki banyak peluang untuk itu. Dengan hutannya yang kaya, gambutnya yang luas, dan pencegahan kebakaran hutan, penurunan emisi GRK sebenarnya bukan hal sulit.
Persoalannya adalah banyak kebijakan telah dituliskan, tetapi implementasinya nyaris tidak terlihat ketika praktik para pengusaha industri kehutanan ternyata tetap saja marak. Konflik tetap terjadi karena penyerobotan hutan atau lahan tetap terjadi, tambang tetap dijalankan dengan sembarangan sehingga banyak menelan korban jiwa, praktik perkebunan kelapa sawit pun sama saja karena terus muncul pengaduan tentang berbagai pelanggaran. Di sisi lain sanksi yang dijatuhkan pemerintah justru sering kali tak dieksekusi.
Untuk mencapai penurunan emisi secara signifikan sesuai dengan potensi yang tersedia, Indonesia membutuhkan antara lain sistem komunikasi yang benar. Saat ini, meskipun telah dibuat sistem registry nasional, hasilnya belum transparan untuk diketahui publik.
Sementara juga belum jelas penghitungan emisi GRK terkait dengan hutan-hutan dan lahan-lahan pertanian yang hilang akibat gencarnya pembangunan infrastruktur: jalan-jalan, waduk, dan pelabuhan udara. Berapa nilai netto emisi GRK jika aktivitas itu dibandingkan dengan moratorium lahan gambut dan pembukaan kebun baru kelapa sawit.
Belum lagi pembangunan pembangkit listrik yang masih berbasiskan pada batubara. Padahal, sesuai rekomendasi dari Panel Ahli Perubahan Iklim, para pihak disarankan meninggalkan batubara seterusnya demi penyelamatan bumi.
Di luar semua perkiraan kalkulasi emisi GRK yang mengecilkan hati tersebut, masih terdapat problem komunikasi untuk mengetahui kontribusi penurunan emisi dari setiap aktor. Secara individu, misalnya, ada kemungkinan telah banyak individu atau kelompok kecil yang telah melakukan perubahan demi pengurangan emisi, tetapi sistem registrasi nasional belum menjangkau hingga ke tingkat tapak.
Para aktor pelaku penurunan emisi selain pemerintah (pusat), yaitu aktor-aktor lain, seperti pemerintah daerah dan swasta, juga masyarakat termasuk komunitas masyarakat sipil, belum terhubung dalam sistem komunikasi yang efektif.
Dalam sebuah diskusi yang dimotori Akademi Ilmuwan Muda Indonesia dan Pusat Penelitian Perubahan Iklim UI, antara lain, muncul pendapat bahwa jika terdapat pencatatan yang baik penurunan emisi yang dilakukan para aktor tersebut maka akan muncul rasa saling percaya.
Seperti diungkapkan seorang aktivis dari masyarakat sipil, ”Jika Indonesia harus memaparkan posisinya saat ini, apa yang mau dilaporkan?”
Kebersamaan dan harapan
Presiden COP-24 Michal Kurtyka, yang juga Menteri Luar Negeri Polandia, dalam pembukaan menyatakan perlunya kebersamaan dan keadilan dalam melakukan pembelaan terhadap planet tempat kita tinggal.
Dia antara lain menyebutkan bahwa kita saling bergantung dan kita harus bersama-sama melindungi planet kita. Untuk melakukannya, kita harus bergerak sebagai satu kesatuan. Kita harus mencari jalur yang berat, tetapi dengan transisi yang adil. (Dalam) cara kita berpikir, cara kita bergerak, cara kita mengonsumsi, cara kita berpenghasilan dan gaya hidup yang kita pilih. Cara merancang kota, cara membangun gedung, cara kita peduli pada sumber daya kita seperti hutan, misalnya.
Apabila perundingan tentang ”buku aturan”di Katowice gagal, runtuhlah Kesepakatan Paris dan dunia beserta isinya (mungkin) akan kehilangan masa depan. Ini tentu bukan pilihan sebagian besar mereka yang ada di Katowice.