Dalam draf terbaru RUU Penyadapan, KPK tak perlu mengantongi izin pengadilan untuk menyadap. Namun, audit eksternal terhadap penyadapan KPK diperlukan. KPK pun tak keberatan dengan usulan ini.
Jakarta, Kompas - Dalam draf Rancangan Undang-Undang Penyadapan yang sedang disusun Dewan Perwakilan Rakyat, Komisi Pemberantasan Korupsi diberikan pengecualian tak perlu izin ketua pengadilan untuk menyadap. Meski demikian, KPK akan tetap diaudit untuk memastikan akuntabilitas proses penyadapan dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Pengecualian itu diatur dalam Pasal 11 Ayat (9) draf RUU Penyadapan versi terbaru, 22 November 2018, yang disusun Badan Legislasi DPR. Di sana tertulis, ketentuan mengenai permintaan penyadapan kepada pengadilan dikecualikan terhadap penyadapan dalam rangka penegakan hukum tindak pidana tertentu. Selanjutnya, pada bagian penjelasan disebutkan, tindak pidana yang dimaksud adalah korupsi, terorisme, dan narkotika.
Dalam rapat dengar pendapat KPK dengan Panitia Kerja RUU Penyadapan Badan Legislasi DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (6/12/2018), gagasan untuk mempertahankan kewenangan KPK melakukan penyadapan tanpa izin pengadilan mengemuka.
”Kewenangan KPK tidak berubah, tidak perlu izin, tetapi kami sarankan agar peraturan internal dan prosedur standar operasi (SOP) KPK terkait penyadapan dimasukkan ke dalam undang-undang sehingga kekuatan hukumnya tetap, berupa undang-undang, bukan hanya peraturan internal,” kata Ketua Badan Legislasi dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas.
Adapun untuk memastikan akuntabilitas pelaksanaan penyadapan, audit eksternal diberlakukan. Tak hanya untuk KPK, audit eksternal juga berlaku bagi lembaga penegak hukum lain.
”Dari sisi kepentingan penegakan hukum, kami ingin undang-undang ini tidak menghambat. Namun, dari sisi perlindungan hak asasi manusia juga perlu ada sehingga pelaksanaannya tetap harus akuntabel,” kata anggota Panja RUU Penyadapan dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani.
Audit eksternal itu akan menyerupai yang pernah dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika terhadap penyadapan KPK sebelum 2009. Audit itu dilakukan untuk menilai apakah mekanisme penyadapan yang dilakukan KPK sudah sesuai prosedur standar operasi yang ditentukan atau tidak.
Namun, setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 yang mengharuskan tata cara penyadapan dilakukan melalui undang-undang, proses audit itu dihentikan. Rencana menghidupkan kembali audit tersebut berulang kali muncul, tetapi belum terealisasi.
Tak keberatan
Komisioner KPK, Laode Muhammad Syarif, mengatakan, KPK tak keberatan diaudit. KPK selama ini justru menawarkan diri untuk kembali diaudit secara eksternal oleh Kemkominfo, tetapi terbentur implementasi putusan MK. ”Kami mau diaudit, tetapi MK mengatakan (Kemkominfo) tidak punya kewenangan untuk mengaudit seperti itu. Jadi, semua tergantung nanti bagaimana pengaturan sistem pengawasan auditnya,” katanya.
Laode pun menyerahkan kepada DPR untuk menyusun aturan audit eksternal itu dalam draf RUU Penyadapan. Namun, ia mengusulkan perlu ada diskusi terfokus dengan berbagai pihak yang bersangkutan untuk merumuskan aturan teknisnya.