Mulai 2020, Norwegia Hentikan Minyak Nabati Hasil Deforestasi
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Norwegia menjadi negara Eropa bahkan negara pertama di dunia yang tak lagi menerima bahan baku biofuel terkait deforestasi tinggi seperti minyak sawit mulai tahun 2020. Keputusan Norwegia itu dibuat saat membahas anggaran nasional untuk 2019 di parlemen.
Mayoritas di parlemen, termasuk koalisi yang berkuasa, meminta agar pemerintah mengambil langkah-langkah untuk menghindari biofuel risiko deforestasi tinggi. Langkah-langkah ini akan dilaksanakan mulai awal 2020. Mayoritas mengacu pada deforestasi yang disebabkan oleh minyak sawit sebagai perhatian utama.
“Ini adalah kemenangan dalam perjuangan untuk hutan hujan dan iklim," kata Nils Hermann Ranum, Team Leader Rainforest Foundation Norway, dalam siaran pers, 4 Desember 2018.
Keputusan ini mengikuti konsumsi tinggi bahan bakar berbasis minyak sawit di Norwegia tahun lalu. Pada tahun 2017, 317 juta liter biodiesel - sekitar 10 persen dari total konsumsi minyak solar di Norwegia - didasarkan pada minyak sawit.
RFN menyebutkan para politisi Norwegia, termasuk Perdana Menteri Erna Solberg, telah menyuarakan keprihatinan atas penggunaan biofuel berbasis minyak sawit karena hubungan antara meningkatnya permintaan akan minyak sawit dan penggundulan hutan.
Norwegia memiliki serangkaian kebijakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari transportasi, termasuk insentif kebijakan untuk meningkatkan penggunaan biofuel - seperti mandat pencampuran 20 persen pada tahun 2020 dan pembebasan “pajak jalan” untuk biofuel yang dipasok di atas volume memadukan ambang batas mandat.
Kebijakan ini membuat hampir setengah dari semua biofuel yang dikonsumsi di Norwegia pada tahun 2017 didasarkan pada minyak sawit. Pemerintah Norwegia mengakui bahwa permintaan minyak sawit untuk bahan bakar menyebabkan deforestasi, karena efek perubahan penggunaan lahan tidak langsung.
Keputusan Norwegia untuk menghentikan bahan bakar nabati terkait deforestasi tinggi ini melampaui kebijakan Uni Eropa awal tahun ini yang telah setuju melakukannya pada 2030. “Keputusan parlemen Norwegia menetapkan contoh penting bagi negara-negara lain dan menggarisbawahi perlunya reformasi serius industri kelapa sawit dunia,” kata Hermann Ranum.
Dari Katowice, Polandia, Yayasan EcoNusa Indonesia, Yayasan Madani Berkelanjutan dan KKI-Warsi menilai tujuan dari Kesepakatan Paris untuk perubahan iklim yang dirumuskan pada 2015 terancam gagal. Deforestasi yang terus terjadi tiap tahun dan diperkirakan akan terus berlangsung hingga 2030 menjadi salah satu penyebabnya.
Negara-negara pemilik tutupan hutan alam yang luas seperti Indonesia, Brasil, Republik Demokratik Kongo, Peru, Kolombia dan Myanmar tidak memiliki rencana untuk sepenuhnya menghentikan deforestasi dan degradasi hutan dalam NDC. Rencana pengurangan emisi yang tercantum dalam NDC keenam negara tersebut masih mengandung deforestasi terencana yang tinggi.
Di beberapa negara, tingkat deforestasi bahkan direncanakan akan terus meningkat hingga 2030. Hal ini terungkap dalam kajian terbaru yang dilakukan oleh Rainforest Foundation Norway (RFN) beserta mitranya di keenam negara tersebut.