Penyelesaian Kasus Pelecehan Masih dalam Pembahasan Komisi Etik
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Komite Etik masih terus membahas rekomendasi penyelesaian kasus dugaan pelecehan seksual yang menimpa seorang mahasiswi Universitas Gadjah Mada saat menjalani Kuliah Kerja Nyata di Maluku pada 2017. Tenggat rekomendasi kepada rektor pada 31 Desember 2018.
Wakil Rektor Bidang Alumni dan Kerja Sama Universitas Gadjah Mada (UGM) Paripurna mengatakan hal itu di Gedung Rektorat UGM, Sleman, DI Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Dalam kesempatan itu, Rektor UGM Panut Mulyono juga membacakan pernyataan sikap atas kasus dugaan pelecehan seksual pada KKN UGM tahun 2017.
”Komite Etik bekerja dengan sangat keras. Pada 31 Desember 2018 nanti diperkirakan sudah selesai dan didapatkan rekomendasi penyelesaian kasusnya,” kata Paripurna.
Komite Etik dibentuk oleh rektor untuk mendalami kasus dugaan pelecehan seksual itu. Komite tersebut terdiri atas pengajar-pengajar yang kompeten untuk menganalisis kasus itu. Mereka ditugaskan membuat rekomendasi atas penyelesaian kasus tersebut berangkat dari fakta yang ditemukan tim investigasi independen dan tim pencari fakta.
Terkait hal itu, juru bicara korban atau penyintas, Cornelia Natasya, beranggapan, pihak rektorat terlalu berlarut-larut menyelesaikan persoalan ini. Mereka menginginkan terduga pelaku dikeluarkan (drop out/DO) dari universitas.
”Seharusnya, keputusan yang diambil rektorat sudah bisa dibuat dengan pembuatan dua tim sebelumnya. Tim investigasi dan tim pencari fakta seharusnya sudah bisa memberikan rekomendasi untuk DO itu,” ujar Natasya.
Namun, keputusan untuk mengeluarkan akademisi dari universitas itu tidak mudah. Ada sidang etik yang harus ditempuh terlebih dahulu guna memberikan sanksi kepada pihak yang secara etika melakukan pelanggaran sebagai seorang akademisi. Oleh karena itu, Komite Etik dibentuk untuk mendalami kemungkinan pelanggaran yang dilakukan.
Panut mengakui, ada kelambanan dari pihak universitas untuk menyelesaikan persoalan ini. Ia pun meminta maaf atas kelambanan yang berpengaruh terhadap kondisi psikologis, finansial, serta akademik dari terduga penyintas ataupun terduga pelaku.
Akan tetapi, Paripurna menuturkan, lambannya penyelesaian persoalan itu karena pihak rektorat ingin berhati-hati dalam mengambil keputusan. Mereka menginginkan keputusan yang diambil itu benar-benar adil.
”Asas kehati-hatian itu yang menjadi pertimbangan bagi kami sehingga membuat proses penyelesaian masalah ini lama,” ucap Paripurna.
Asas kehati-hatian itu yang menjadi pertimbangan bagi kami sehingga membuat proses penyelesaian masalah ini lama.
Selain itu, Panut menyampaikan, masih terdapat budaya menyalahkan korban. Hal itu cukup berdampak pada keterlambatan dalam pemenuhan hak-hak korban.
Akan tetapi, Panut menyatakan, UGM pun sudah berupaya menempuh sejumlah langkah guna menyelesaikan persoalan ini. Langkah-langkah tersebut antara lain membatalkan dan menarik terduga pelaku dari KKN periode Juli-Agustus 2017 serta membentuk tim pencari fakta dan tim investigasi independen.
Panut juga telah menginstruksikan para dekan dan wakil rektor terkait untuk menjalankan rekomendasi yang dibuat tim pencari fakta dan tim investigasi independen per 20 Juli 2018. Isi rekomendasi dari tim itu adalah pemberian kepastian nilai KKN kepada penyintas dan pemberian konseling baik kepada penyintas maupun terduga pelaku.
”UGM memahami kejadian ini secara mendalam dan belajar dari kesalahan untuk memperbaiki kehidupan kampus yang nir-kekerasan,” kata Panut.
Panut menyebutkan, upaya untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual itu, dirinya membentuk Tim Penyusun Kebijakan Pencegahan dan Penanggulangan Pelecehan Seksual UGM. Saat ini, tim tersebut tengah menyusun program mengenai pembenahan lembaga yang mampu mencegah pelecehan seksual.