Petakan Kebutuhan Lapangan Kerja
BANDUNG, KOMPAS – Tingginya pengangguran lulusan Sekolah Menengah Kejuruan menjadi tantangan besar dalam mengembangkan pendidikan vokasi di Indonesia. Pemetaan kebutuhan lapangan kerja seharusnya menjadi landasan dalam menyusun kurikulum di SMK.
“Kurikulum SMK sebaiknya difokuskan pada bidang pekerjaan yang dibutuhkan di masing-masing daerah. Dengan begitu, lulusan SMK mudah diserap dunia kerja,” ujar Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Anggi Afriansyah di Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (7/12/2018).
Hal itu disampaikan dalam diskusi “Pendidikan Vokasi dan Pengembangan Sumber Daya Manusia di Era Digital”. Diskusi tersebut digelar LIPI bersama Yayasan Akatiga, lembaga penelitian isu-isu sosial di Bandung. Menurut Anggi, pendidikan vokasi perlu dibenahi dalam beberapa aspek, seperti kurikulum, penguatan tenaga pengajar, dan peningkatan kerja sama dengan industri.
Anggi mengatakan, SMK identik dengan pendidikan keahlian. Namun, dari jumlah pengangguran di Indonesia yang mencapai 7,04 juta orang, 11,41 persen di antaranya justru lulusan SMK. Angkat tersebut menjadi yang terbesar dibandingkan lulusan tingkat pendidikan lainnya.
Hal ini mengindikasikan banyak lulusan SMK tidak sesuai dengan kualifikasi lapangan kerja. Jika tidak segera dibenahi, lulusan SMK yang menganggur dikhawatirkan terus bertambah.
Selain itu, era digital juga membuat banyak jenis pekerjaan berkurang. Di sisi lain, muncul pekerjaan baru yang menuntut kemampuan di bidang digital.
Oleh sebab itu, penting bagi SMK menyusun kurikulum selaras dengan industri. “Siswa SMK sebaiknya mendapat pelatihan dari industri sebagai persiapan ke dunia kerja. Masalahnya, belum banyak industri yang melakukannya,” ujarnya.
Secara terpisah, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan, era digital memang mengubah banyak bidang pekerjaan. Hal itu perlu dibarengi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Salah satu caranya mewujudkan pemerataan kualitas pendidikan dengan sistem zonasi. Dengan begitu, tidak terjadi penumpukan guru dan siswa berkualitas dalam wilayah atau sekolah tertentu.
“Hilangkan eksklusivitas dan diskriminasi di sekolah negeri. Guru-guru berkualitas akan diberi insentif untuk mengajar di sekolah yang bukan favorit. Dengan begitu, mutu sekolah bisa merata,” ujarnya.
Hal itu disampaikan Muhadjir dalam seminar nasional “Grand Design Pembangunan Pendidikan Jawa Barat” di Universitas Pendidikan Indonesia, Kota Bandung. Hadir juga dalam seminar itu Gubernur Jabar Ridwan Kamil.
Kamil mengatakan, pengangguran terbesar di Jabar juga disumbangkan lulusan SMK. Hal itu mendorong pihaknya untuk mengubah kurikulum sehingga dapat menjawab kebutuhan lapangan kerja.
“Kami menduga, antara kurikulum dan kebutuhan industri tidak sesuai. Perlu dicari jalan keluar agar SMK bisa menyiapkan lulusan untuk bekerja di industri,” ujarnya.
“Ternyata banyak warganya yang tidak sesuai kualifikasi pekerjaan di industri. Alhasil, industri merekrut tenaga kerja dari luar daerah,” ujarnya.
Untuk mengatasi hal itu, Kamil meminta industri memberi masukan kurikulum di SMK. Dengan begitu, warga di daerah industri akan dibekali dengan keterampilan yang dibutuhkan.
“Ini sedang dikaji. Sekolahnya aset kami (pemerintah), namun kurikulumnya mengacu pada industri. Jadi, lulusannya bisa diserap industri dan memahami persaingan lapangan kerja ke depan,” ujarnya.
Hal serupa terjadi di Banten. Lulusan SMK-nya juga dinilai belum dapat memenuhi kebutuhan industri. Pengangguran terbanyak di provinsi itu merupakan lulusan SMK. Persoalan itu menunjukkan industri dan SMK belum berkoordinasi dengan baik.
Hal itu mengemuka dalam diskusi publik bertema “Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja di Indonesia” yang diselenggarakan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Kantor Staf Presiden, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika di Serang, Banten, Jumat.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Untirta dan Anggota Dewan Riset Daerah (DRD) Banten Abdul Hamid mengatakan, di Banten, banyak pengangguran justru tinggal di sekitar kawasan industri. Perusahaan-perusahaan merekrut sebagian pegawainya yang berasal dari Banten.
“Migrasi terjadi, tenaga kerja lokal pun kalah. Banten punya persoalan kualitas sumber daya manusia,” ujar Hamid. SMK justru menjadi sumber persoalan ketenagakerjaan. Kurikulum SMK dinilai belum sesuai dengan kriteria yang ditetapkan industri.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Banten, tingkat pengangguran terbuka (TPT) Banten pada Agustus 2018 sebesar 8,52 persen. Berdasarkan pendidikan, TPT tertinggi, yakni lulusan SMK atau mencapai 14,23 persen. Di Banten terdapat 5,83 juta orang yang termasuk angkatan kerja.
“Penyebab lain lulusan SMK tidak terserap dunia kerja, bidang pendidikan yang tersedia tidak sesuai dengan potensi daerah tertentu,” ucap Hamid.
Di Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Bantan, misalnya, terdapat SMK administrasi perkantoran. Di Bayah, menurut Hamid, dibutuhkan SMK pariwisata. Bayah terkenal dengan desa wisata Sawarna yang dikunjungi para wisatawan untuk menikmati pantai pasir putih, karang menjulang, dan goa. Banyak lulusan SMK di Bayah akhirnya bekerja sebagai pegawai minimarket.
Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengatakan, pihaknya terus meningkatkan kualitas tenaga kerja bersertifikasi. “Kami terus menggenjot jumlah tenaga kerja terampil dan tersertifikasi sehingga mereka diakui industri,” ucapnya.
Hanif mengatakan, karakter industri telah berubah dari berbasis modal menjadi ilmu pengetahuan, inovasi, sumber daya manusia, dan kolaborasi. Angkatan kerja pun kini tak lagi menginginkan status karyawan tetap. Mereka tetap bekerja tetapi tak tergantung sepenuhnya pada perusahaan.
“Dulu, pekerjaan jelas tapi penghasilan kecil. Sekarang, pekerjaan tak perlu jelas tapi penghasilan besar lebih penting,” ujarnya. Diskusi itu juga dihadiri Rektor Untirta Sholeh Hidayat dan Kepala Bagian Tata Usaha Balai Besar Pengembangan Latihan Kerja Serang Vidi Arga Utomo.