JAKARTA, KOMPAS--Sembilan seniman mural dan grafiti berkolaborasi mencoret dinding-dinding yang disediakan panitia “Jakarta Street Art Festival”, di Lippo Mall Puri, Kembangan, Jakarta Barat, Jumat (7/12/2018). Ini merupakan ruang baru bagi seniman mural dan grafiti untuk memamerkan karya-karyanya.
“Sebagian masyarakat cenderung menilai street art sebagai vandalisme jalanan. Dengan tampil di mal, mudah-mudahan karya saya bisa diterima oleh masyarakat,” kata Lukas Adiwijoyo (30), pada pembukaan Jakarta Street Art Festival.
Pada pembukaan ini, Lukas dengan nama jalanan folker ini hadir bersama Heru Setiawan (34) atau Mongkiboi. Lukas, Heru, dan tujuh seniman lainnya yang urung datang, berkolaborasi menggambar lima dinding pameran yang berada di The Forum, Lantai I Lippo Mall.
Lukas mengatakan, proses pembuatan mural berlangsung selama tiga hari. Mereka yang gambarnya memiliki ciri masing-masing, ditantang untuk menggambar secara bersamaan.
“Ini seperti menjawab tantangan kita hari ini yang sering bermasalah soal perbedaan. Kami membuktikan kami bisa membuat mural secara bersama-sama tanpa ribut,” kata Lukas.
Lukas membuat huruf bertuliskan folker. Ini menjadi penegasan tentang sikap dan identifikasi dirinya sebagai bagian dari rakyat.
Di dinding sebelahnya, Heru menggambar monyet yang sedang mencibir. Ini menjadi karakter personal Heru sejak setahun lalu.
“Kita terkadang memandang dunia terlalu serius. Monyet itu seakan mengejek orang-orang yang terlalu serius memandang dunia,” kata pekerja ilustrator lepas ini.
Heru menilai, street art tidak melulu harus tampil di jalanan. Mal, kata dia, adalah ruang publik baru di mana karya street art berpeluang untuk diapresiasi. “Ini pertama kalinya karya saya tampil di mal. Paling tidak, ini bisa menjadi perkenalan bagi segmen masyarakat yang selama ini belum mengenal street art,” kata dia.
Meski demikian, ia tidak menampik bahwa ada seniman mural yang hanya ingin berkarya di jalanan. Sebagian di antara mereka bahkan tidak memamerkan karyanya di media sosial dan tak ingin identitasnya diketahui.
“Ini kan soal idealisme masing-masing seniman. Bagi saya, tawaran untuk memamerkan karya di mal dilihat sebagai sebuah kesempatan. Seniman lain boleh jadi berpendapat berbeda,” kata dia.
Karya seniman Indonesia dipajang bersamaan dengan lima seniman street art yang tenar di dunia. Karya itu antara lain dibuat oleh Banksy, Kyle Hughes-Odgers, Bret Polok, Invader, dan Shepard Fairey atau Obey.
Dibanding karya seniman lokal, karya lima seniman street art luar negeri ini lebih bisa dimaknai. Obey, misalnya, menggambar sosok perempuan dalam latar merah. Di atas dan bawah gambar dibubuhi tulisan: Make Art Not War.
“Obey memang banyak membuat karya yang sarat makna,” kata Heru saat melihat karya Obey.
Jakarta Street Art Festival diselenggarakan oleh Inhype Group. Festival berlangsung dari 7 Desember 2018 hingga 6 Januari 2019.
Brenda Sucipto, humas Inhype Group mengatakan, festival ini bertujuan untuk mendekatkan street art pada generasi milenial. Di sisi lain, ini juga bertujuan untuk memberi ruang bagi seniman street art yang belum begitu dikenal publik.
“Sekarang coba pikir, generasi milenial mainnya ke mana coba kalau bukan ke mal,” kata dia. (INSAN ALFAJRI)