JAKARTA, KOMPAS - Sikap keberpihakan dalam melestarikan bangunan cagar budaya di Jakarta menjadi perhatian. Salah satunya jika dikaitkan dengan kecenderungan adanya sikap yang berbeda dalam memutuskan untuk melestarikan atau justru menghilangkan bangunan cagar budaya.
Pemerhati bangunan bersejarah yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Kepala Museum Sejarah Jakarta, Soedarmadji Jean Henry Damais, Jumat (7/12/2018), menyebutkan bahwa terdapat kecenderungan sikap mendua terkait hal tersebut. Hal ini membuat ada sebagian bangunan bersejarah dan atau cagar budaya yang dipelihara dan sebagian lagi tidak.
“(Sikap) mendua dalam arti, adakalanya kita (menilai bangunan tertentu) harus dipelihara, kadang bilang (bangunan tertentu) memalukan (sehingga) dihancurin,” sebut Soedarmadji.
Ia menambahkan, memang tidak seluruh warisan masa lalu mesti dipertahankan. Akan tetapi, imbuh Soedarmadji, di Jakarta terdapat sejumlah bangunan yang secara kesejarahan relatif tidak penting namun justru dipertahankan dan dirawat. Hal serupa terjadi sebaliknya, dimana sebagian bangunan bersejarah justru tidak dipelihara.
Berdasarkan data Unit Pengelola Kawasan Kota Tua Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, diketahui terdapat 94 bangunan cagar budaya dalam kondisi terawat. Sementara itu, sejumlah 44 bangunan cagar budaya beradadalam kondisi tidak terawat.
Akan tetapi, menurut Soedarmadji, kesadaran untuk memelihara bangunan bersejarah dan atau cagar budaya di Jakarta cenderung terus berkembang. Ia menyebutkan, hal itu ditandai dengan sejumlah kebijakan saat Ali Sadikin menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada era 1960-an hingga 1970-an.
Sebelumnya, sejarawan Rushdy Hoesein, mengatakan pada masa itu sempat terjadi semacam resistensi dari sebagian kalangan bekas pejuang kemerdekaan tatkala kawasan Kota Tua hendak dibangun. Rushdy menjelaskan, pada saat itu sebagian mantan pejuang kemerdekaan menginginkan agar bangunan-banguan tua di kawasan tersebut tetap dibiarkan sebagai sisa bangunan.